Novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta karya Habibburrahman El-Shirazi (Kang Abik) memang menjadi suatu hal yang menarik di ulas, nuansa agamis yang begitu kental di padukan dengan kisah cinta islami menjadi daya tarik tersendiri yang membuat pembaca terpesona akan ceritanya. Novel yang juga sudah di buat filem dengan judul yang sama pun meraup banyak penonton dari berbagai khalangan. Kisah Cinta Fahri pemuda asal Indonesia dengan Aisha gadis muslimah konglomerat berdarah Jerman yang membuat kita terhanyut di dalamnya dengan ending yang bahagia pada novel pertamanya. Siapa sangka terbitnya novel Ayat-Ayat Cinta 2 banyak menyiratkan tanda tanya tersendiri, kemanakah Aisha? Kenapa Fahri hanya sendiri? Apa Aisha masih hidup? dan apakah Shabina itu adalah Aisha? Ketika membaca novelnya saya agak merasa kecewa dan banyak melontarkan pertanyaan seperti di atas, namun ketika saya mengikuti jalan ceritanya, sepertinya kang Abik lebih mengutamakan pesan moral islami di dalam novelnya kali ini tanpa meningalkan nuansa romantis dari kisah Cinta Fahri.
AWAS SPOILER !!!
Fahri
yang semenjak kehilangan Aisha untuk menjadi sukarelawan di Palestina bersama
temanya Alicia yang kemudian ditemukan tidak bernyawa dengan kondisi yang
mengenaskan, sedangkan Aisha tidak diketahui kabarnya dan belum ditemukan
jasatnya, menjadi kehilangan separuh hidupnya. Ia memutuskan untuk pindah ke
Edinburgh kota yang diimpikan oleh Aisha. Ia menetap dan bekerja sebagai dosen di Edinburgh University sambil
menjalankan bisnis yang ia buat bersama Aisha di sana. Di Edinburgh Fahri
berjumpa dengan Hulya sepupu Aisha, dan Keira tetangganya yang beragama non
muslim serta Sabina gadis berparas buruk dan penuh luka bakar di sekujur
tubuhnya, yang kemudian diangkat menjadi asisten rumah tangga oleh fahri. Sosok
Sabina benar-benar mengingatkan Fahri kepada Aisha, mulai dari postur dan
tinggi badannya, cara dia berjalan, masakan dan seduhan tehnya sangat mirif
dengan Aisha kecuali wajah dan suara paraunya. Kerena keimanan Sabina yang
begitu kuatnya membela agama Allah, Fahri sempat berniat mempersuntingnya,
meski pada akhirnya ditolak oleh Sabina.
Sabina
akhirnya berhasil membujuk Fahri
untuk menikahi Hulya dan meyakinkan Hulya untuk menikah dengan Fahri. Pada Awal
pernikahannya dengan Hulya Fahri nyaris mengabaikan kewajibannya sebagai suami untuk
Hulya karena teringan akan Aisha, sampai akhirnya Hulya mencurahkan rasa
kecewanya kepada Sabina. Sabina yang mendengar hal tersebut berusaha memberikan
saran agar Hulya tetap sabar dan bertahan. Pernikahan Fahri dengan Hulya
kemudian di karuniai seorang anak laki-laki bernama Umar Al Faruq. Sabinalah yang kemudian menjadi
ibu angkatnya dan merawat Umar seperti anaknya sendiri.
kehidupan Fahri dan Hulya kian
lengkap dengan hadirnya anak kedua dalam kandungan Hulya. Namun naasnya, Hulya
tewas karena luka tusukan ketika ia menyelamatkan Keira dari orang yang hendak
mengambil kehormatan Keira. Sebelum Hulya meninggal ia sempat
mewasiatkan kepada Fahri agar Fahri mengoperasi wajah Sabina dengan wajahnya. Fahri dan Sabina tidak bisa menolak hal tersebut kerena
merupakan permintaan terakhir dari Hulya sampai akhirnya berjalanlah operasi
tersebut. kehilangan istri yang ia cintai kembali membuat Fahri bersedih, belum
sembuh luka karena kepergian Aisha kini ia harus merasakan kesedihan karena
kepergian Hulya.
Fahri yang melihat-lihat kamar
Hulya menemukan petunjuk dari tulisan Hulya tentang kecurigaannya pada Sabina,
sehingga akhirnya Fahri memberanikan diri mengeledah kamar Sabina. Tidak ada
yang ia temukan di kamar Sabina kecuali tas yang diberikan Hulya padanya. Di dalam
tas tersebut Fahri menemukan sebuah cincin yang jika di taksir mempunyai harga
yang mahal, dan selembar foto Fahri bersama Aisha di Borubudur, di balik foto
tersebut ada tulisan “aku dan suamiku, sebelum aku kehilangan wajahku”. Kecurigaan
yang fahri rasakan selama ini membuatnya nekat melihat tanda lahir yang
dimiliki Aisha di bahu Sabina, ketika Sabina sedang menjalani proses operasi,
sehinga akhirnya Fahri benar-benar yakin bahwa Sabina adalah Aisha istrinya
yang hilang selama ini.
Apa alasan Aisha sebenarnya? mengapa ia lebih memilih menyembunyikan identitas aslinya dan mengaku sebagai Sabina? yuk, lihat cuplikan terakhir novel Ayat-Ayat Cinta 2 berikut,
18
42.
CERITA DI KABLE COLLEGE
Sabina
membaca Al Qur'an dengan suara jernih. Operasi pita suara itu berhasil. Sabina
merasakan suaranya sekarang mirip dengan suara aslinya yang dulu, meskipun
tidak sama persis. Allah Maha Besar telah meneteskan ilmu-Nya kepada manusia
sehingga bisa memperbaiki pita suara manusia yang rusak dengan izin-Nya.
Bel
pintu kamarnya berdering. Sabina meletakkan mushaf yang dipegangnya dan membuka
pintu. Seorang perawat perempuan berhidung sangat mancung tersenyum, "Ada
telah dijemput."
"Siapa?"
"Utusan
dari orang yang membiayai pengobatan Anda."
"Saya
harus mengemasi semua barang-barang saya?”
"Tidak
perlu. Cukuplah Anda merapikan diri Anda. Barang – barang Anda nanti akan ada
yang merapikan dan mengantarkan ke tempat Anda dengan aman. Waktu Anda sepuluh
menit Anda sudah ditunggu di loby."
"Ba
.. baik." Ada kebahagiaan menyusup ke dalam hati Sabina, namun juga
sedikit kekecewaan. Kenapa Fahri tidak mau langsung menjemputnya? Apa
majikannya itu tidak sudi melihat dirinya? Tidak sudi melihat wajah istrinya
menempel pada wajah orang lain? Ia juga tidak yakin bahwa ia akan diantar ke
rumah Fahri. Mungkin majikannya itu telah menyiapkan tempat lain untuknya.
Lima
belas menit kemudian ia telah berada di dalam mobil Rolls-Royce Wraith milik
Fahri. Seorang lelaki muda berkulit putih mengendarai mobil itu, bukan Fahri.
Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai mahasiswa dari Polandia yang dibimbing
Fahri. Dan baru satu bulan ini masuk Islam di tangan Fahri.
"Satu
kehormatan bagi saya diminta menjemput Anda, Tuan Fahri ada kesibukan di
kampus."
“Kita
mau ke mana?" Tanya Sabina ketika ia tahu bahwa itu bukan jalan menuju
rumah Fahri.
"Kita
ke Keble College Oxford. Tuan Fahri meminta saya membawa Anda ke sana agar
berganti suasana sehingga Anda tidak bosan."
"Oh
begitu." Sabina merasa kecewa sebab yang ia harapkan bukan berganti tempat
menginap, tetapi ia ingin berjumpa si kecil Umar Al Faruq yang telah ia anggap
seperti anaknya sendiri, dan
langsung
berjumpa Fahri.
Begitu
memasuki Keble College yang indah dan klasik kemerahan seperti sebuah istana,
Sabina merasa seperti pernah memasuki tempat itu. Tapi kapan? Ia terus berpikir
sembari berjalan mengikuti mahasiwa dari Polandia itu membawanya menyeberangi
lapangan rumput yang hijau di tengah - tengah college, lalu memasuki lorong –
lorong college yang menawan.
"Ini
kamar Anda, ini kuncinya, silakan. Jika ada keperluan apa saja Anda bisa
menghubungi resepsionis, mereka akan dengan senang hati membantu."
“Sampai
kapan saya di sini?”
"Itu
saya tidak tahu, saya hanya di minta menjemput Anda dan membawa Anda ke sini.
Semoga Anda nyaman dan senang. Bye."
Mahasiswa
Polandia itu pergi, Sabina membuka kamar itu. Kamar yang sederhana tapi rapi
dan harum. Nuansanya serba putih. Lagi-lagi ia merasa pernah memasuki kamar
itu, tapi kapan? la tidak menemukan jawabannya.
Sabina
teringat bahwa ia benar - benar tidak membawa pakaian ganti. Bagaimana kalau
yang mengantar barang-barangnya tidak membawanya ke Keble College. la merasa
bodoh, seharusnya
ia
membawa beberapa helai pakaian ganti. Apakah ia harus minta tolong resepsionis
mencarikan pakaian ganti? Itu sungguh tindakan yang naif.
Sabina
memeriksa almari yang menempel di tembok. Ada kulkas di dalamnya. Ia buka
kulkas ada buah - buahan dan minuman kaleng. la membuka pintu satunya. Ia
terkesiap. Ada beberapa helai pakaian perempuan. Masih baru. Ada pakaian tidur.
Ada pakaian dalam. Hanya pakaian perempuan. Ia periksa. Ukurannya benar-benar
pas untuk dirinya. Ia lega dan bertanya-tanya, siapakah yang menyiapkan pakaian
- pakaian ini? Mungkinkah Fahri? Atau Claire, istri Ozan?
Di
dalam almari itu ia juga menemukan sajadah yang ada kompas pencari arah kiblatnya.
Ia jadi ingat, sudah saatnya shalat Ashar. Ia mengambil wudhu lalu mengambil
sajadah dan takbiratul ihram menghadap kiblat. Posisinya berdiri membelakangi
pintu kamar itu. Sabina shalat sedemikian khusyuknya. Air matanya
berlinang-linang. Ia sujud lama sekali. Ia menangis tersedu-sedu dalam
sujudnya.
Ketika
Sabina sujud, pintu kamar itu terbuka. Fahri masuk menenteng tas koper kecil
dan menutup pintu itu pelan lalu menguncinya pelan sekali nyaris tidak
terdengar. Ia melepas sepatunya dan meletakkan koper kecil itu, lalu duduk di
kursi dan memandangi Sabina yang sedang sujud. Ia tahu yang sedang sujud itu
sejatinya adalah Aisha, istrinya yang telah lama ia kira hilang tak tentu
rimbanya di Palestina.
Kedua
mata Fahri basah begitu saja. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Aisha,
istrinya itu? Kenapa ia melakukan ini semua? Kenapa ia memilih menderita di
jalanan dan menyamar sebagai Sabina? Kenapa ia tidak berterus terang apa pun
yang terjadi bahwa ia adalah Aisha? Kenapa ia tega melihatnya menderita?
Sebenarnya
sejak ia tahu bahwa Sabina adalah Aisha, ia tidak sabar untuk segera bertemu
dan berbicara dengannya. Tetapi ia tahan - tahan dirinya sampai operasi itu
benar-benar sembuh dan berhasil sempurna. Dan sungguh, itu adalah saat - saat
paling menyiksa dalam dirinya.
Sabina
duduk tahiyyat akhir, lalu mengucap salam ke kiri dan ke kanan. Pada salam
kedua, Fahri menjawab dengan suara bergetar, "Wa 'alaikumussalam wa
rahmatullahi wa barakaatuh." Sabina terhenyak kaget seketika menengok ke
asal suara. Sabina yang berwajah Hulya langsung terpaku di tempat duduknya
dengan tubuh gemetar melihat Fahri telah duduk di kamar itu. Fahri memandangi
wajahnya dengan wajah sayu dan kedua mata berkaca-kaca.
Pandangan
keduanya bertemu.
Sabina
tidak melepaskan pandangannya pada kedua mata Fahri. Tak terasa air matanya
juga meleleh. Selama ini ia belum pernah berani beradu pandang dengan Fahri,
apalagi cukup lama
seperti
itu. Fahri menatap mata perempuan di hadapannya lekat - lekat.
Ya,
kedua mata itu adalah mata Aisha, bukan mata Sabina atau pun Hulya. Wajahnya
kini memang wajab Hulya, tapi kedua mata itu adalah milik Aisha. Mata Aisha
biru tua, sementara mata Hulya biru kecoklatan. Selama ini ketika perempuan di
hadapannya itu mengaku sebagai Sabina ia tidak pernah memandang kedua matanya
lekat – lekat seperti itu.
Air
mata Fahri meleleh di pipinya. Fahri menyungging senyum dengan perasaan
haru. "Istriku." Suaranya parau, tangisnya hendak meledak.
“Tuan
Fahri.”
"Kenapa
kau panggil aku Tuan, aku ini suamimu."
"Tuan
Fahri, sadarlah saya ini Sabina bukan Hulya."
"Kau
istriku. Kemarilah aku sangat rindu ingin memelukmu istriku.”
"Meskipun
wajahku ini adalah wajah Hulya istri tuan, tapi aku ini Sabina. Tuan tidak
boleh
menyentuh
saya."
"Siapa
yang melarang seorang suami menyentuh istrinya? Siapa yang melarang suami
memeluk
istrinya?
Apalagi istri yang sangat disayanginya dan sangat dirindukannya?"
“Tuan,
sadarlah Tuan, saya bukan Hulya istri Tuan!"
"Apa
maksud Tuan? Sadarlah Tuan, saya ini Sabina bukan istri ,.Tuan.''
"Kenapa
kau tega menyiksaku selama ini istriku, kenapa? Apa dosaku padamu? Apakah
selama aku menjadi suamimu aku pernah menyakitimu sehingga harus kau balas
dengan penyiksaan batin sedemikian rupa. Kenapa istriku? Apa yang sesungguhnya
terjadi?"
Fahri
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pelan mendekati Sabina berwajah
Hulya yang masih duduk di atas sajadah. Sabina beringsut mundur.
"Diamlah
di tempatmu istriku, kenapa kau masih mau lari dariku? Diamlah di tempatmu
istriku, apakah aku ini orang jahat yang harus kau hindari?" Air mata
Fahri meleleh. Sabina diam menunduk.
"
Pandanglah wajahku istriku!" Sabina mendongakkan mukanya memandang wajah
Fahri.
"Apa
dosaku padamu istriku? Demi Allah aku sangat mencintaimu lahir dan batin. Aku
nyaris gila karena memikirkanmu siang dan malam. Ketika kau mau pergi dan kau
masih ada di sisiku aku sudah sangat merindukanmu. Kau tidak pernah merasakan
kerinduan yang sedemikian mencekam kepada seseorang yang bahkan orang itu ada
di sampingnya. Itu aku rasakan istriku. Itulah kerinduanku padamu. Dan ketika
kabar itu aku terima, kau hilang, kau pergi, aku nyaris seperti mayat berjalan
di atas muka bumi ini. Sebab nyawaku seperti kau bawa serta. Siang malam aku
menangisimu, aku mengharu biru meminta kepada Allah agar menemukanmu kembali.
Ternyata kau begitu dekat denganku, tetapi kau begitu tega istriku, kau tidak
mengizinkan aku memandang wajahmu. Apa salahku padamu selama ini, wahai Aisha
istriku tersayang?"
Sabina
kaget, air matanya tumpah.
"Sadarlah
Tuan, Aisha sudah tidak ada, yang ada di hadapan Tuan ini Sabina."
“Benarkah?"
“lya
Tuan."
"Sejak
kapan kau belajar berdusta Aisha, sejak kapan?”
Aisha
menunduk bulir-bulir bening jatuh dari kedua matanya.
“Semalam
saja seorang istri tega menyakiti hati suaminya ia akan dilaknat malaikat.
Berapa malam kau tega menyiksa batin suamimu hingga menderita, Aisha? Aku
sungguh sangat mencintaimu, apakah kau menyesal menikah denganku? Baik, kalau
kau masih juga tidak mengaku bahwa kau Aisha, tetapi kau adalah Sabina. Tolong
bersumpahlah kepada Allah, katakanlah, ‘Demi Allah aku adalah benar – benar
Sabina bukan Aisha istri Fahri Abdillah, jika aku dusta maka laknat dari Allah
pantas menimpaku di dunia dan akhirat’ Ayo ucapkanlah Sabina, ucapkan sumpah
itu kalau kau benar – benar Sabina bukan Aisha istriku !”
Seketika
tangis Aisha meledak. Aisha beringsut meraih tangan kanan Fahri dan menciuminya
sambil menangis terisak-isak. Air mata Aisha membasahi tangan Fahri.
"Ma
... afkan aku suamiku, maafkan aku, aku tidak ingin dilaknat malaikat apalagi
dilaknat Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Embun
kebahagiaan menetes dalam hati Fahri mendengar pengakuan Aisha. Istrinya itu
masih mengakuinya sebagai suaminya. Ia jadi ingat ketika meminta Sabina untuk
ia nikahi dan ia jadikan istrinya, setelah Sabina bersumpah akan mengorbankannya nyawanya
untuk membela kehormatan nabinya dan keluarga nabinya,saat itu Sabina menolak
dan mengatakan jikapun mau menikah lagi maka ia harus menikah dengan orang yang
lebih baik dari suaminya yang dulu. Ia lalu bertanya, apakah dirinya kalah baik
dibandingkan suaminya itu.
Sabina
menjawab, "Saya tidak mengatakan Tuan kalah baik. Tuan mungkin saja sama
baiknya dengan suamiku yang dulu. Tetapi Tuan tidak akan bisa lebih baik
darinya?"
Ia
kini sadar bahwa jawaban Sabina itu berisi ilmu mantiq tingkat tinggi. Ya suami
Sabina itu tak lain adalah dirinya, dan tentu saja dirinya sama kualitasnya
dengan dirinya, dan dirinya tidak akan bisa lebih baik dari dirinya sendiri.
Sebab dirinya tidak mungkin pecah jadi dua yang satu lebih baik dari yang
satunya. Saat itu ia sungguh tidak berpikir bahwa suami Sabina sesungguhnya
adalah dirinya. Sebab ia sama sekali tidak mengira Sabina adalah Aisha.
Ada
banyak hal yang ia temui pada Sabina yang mirip bayangan Aisha. Cara berjalannya,
tinggi dan ramping tubuhnya. Rasa nasi goreng buatannya. Rasa teh seduhannya.
Semua itu sempat mengingatkan pada Aisha. Tetapi ia sungguh tidak berpikir
Sabina adalah Aisha. Ia masih berpikir, bahwa dirinya masih terus terbawa -
bawa perasaannya yang merindukan Aisha sebingga banyak hal yang ia anggap
sebagai bayangan Aisha.
Air
mata Aisha masih terus membasahi tangan kanan Fahri. Keharuan bercampur
kebahagiaan dan ketenteraman terus mengaliri batin Fahri.
“Demi
Allah, aku tidak bermaksud menyakitimu, membuatmu menderita. Aku juga tidak
bermaksud pergi dan tidak taat padamu, suamiku. Justru aku melakukan itu semua
karena rasa cintaku yang mendalam padamu. Sejak menikah denganmu aku bersumpah
hanya akan memiliki suami satu, yaitu cuma engkau suamiku!''
Air
mata Fahri kembali meleleh. Keharuan luar biasa menyesak dalam dadanya. Tangan
kirinya mengelus kepala Aisha dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Aku
tahu itu istriku, aku tahu."
Kedua
tangan Fahri memegang dagu Aisha dan mengangkatnya. Wajah Aisha yang kini
berwajah Hulya itu diraba oleh Fahri dengan penuh kasih sayang. Fahri memegang
kepala istrinya dan memandanginya dengan air mata terus meleleh.
"Aisha,
akulah yang harus minta maaf kepadamu. Seharusnya aku menemanimu ke Palestina,
bukan mementingkan siding doktoral. Aisha tahukah kau, begitu kau hilang kontak
dan benar – benar hilang, aku merasa sangat berdosa. Apalagi ketika jasad
Alicia yang pergi bersamamu itu ditemukan meninggal dalam kondisi mengenaskan
di kota Hebron. Aku langsung maerasakan sakit luar biasa, aku teringat
dirimu. Aku berusaha menghibur kau baik-baik saja. Tapi aku merasa kau pasti
mengalami hal yang menyakitkan. Harusnya aku ada di sampingmu
melindungimu."
Aisha
terisak-isak.
"Kau
sama sekali tidak salah suamiku. Akulah yang salah. Akulah yang terlalu
memaksa. Seharusnya aku mengikuti nasihatmu. Menunggu sampai kau selesai PhD
baru kita berangkat bersama. Tetapi inilah jalan hidup yang harus aku alami.
Suamiku, bagaimana kau bisa tahu kalau aku adalah Aisha, istrimu."
Fahri
menggelengkan kepala, "Kau keterlaluan istriku, sungguh." Fahri
memeluk istrinya penuh sayang dan menangis tersedu- sedu. Sepasang suami istri
itu menangis dalam kehangatan pelukan kerinduan teramat sangat.
Fahri
melepas pelukannya itu, ia pegang kedua tangan istrinya lalu menceritakan
bagaimana ia akhirnya bisa tahu bahwa sosok Sabina sebenamya adalah Aisha,
istrinya.
"Begitu
aku lihat tanda lahir di pundakmu itu, dan seratus persen aku yakin, haqqul
yakin bahwa itu adalah engkau, aku langsung teringat wajahmu sebagai Sabina,
aku teringat saat kau mengemis di jalan, saat kau sakit dan jatuh pingsan di
jalan. Kau pasti mengalami penderitaan luar biasa. Dan wajahmu itu, wajah Aisha
yang cantik itu bisa rusak dan seburuk itu, bagaimana itu bisa terjadi. Hatiku
sakit dan perih mengetahui kenyataan itu, bahkan belum mendengar ceritamu aku
sudah bisa merasakan perih penderitaanmu istriku."
Fahri
menyeka air matanya. Aisha memejamkan kedua matanya. Saat - saat paling
menyakitkan dalam hidupnya yang ia alami di penjara Israel terbayang. Ia tidak
ingin mengingat peristiwa itu, ia ingin membuangnya jauh-jauh.
“Dengan
wajah seburuk itu, dengan suara juga bukan suara Aisha yang dulu, apakah jika
Sabina itu datang kepadamu mengaku sebagai Aisha, kau akan percaya! suamiku?”
"Aisha,
ada banyak rahasia kita yang tahu hanya kita berdua selain Allah SWT. Ada
kehidupan kita berdua yang sangat Prihadi yang tahu hanya kita berdua. Jika kau
kau buka rahasia-rahasia itu sebagai bukti kau adalah Aisha kenapa aku tidak
akan mempercayaimu?"
"Apakah
kau akan tetap mencintaiku dengan wajah seburuk itu?”
"Kenapa
tidak Aisha, aku mencintaimu dengan segala keadaanmu, asal kau tidak
meninggalkan akidah yang mulia ini, akidah Islam, aku akan tetap mencintaimu
lahir dan batin."
Aisha
memejamkan kedua matanya. Dari ujung kedua matanya air matanya mengalir
membasahi kedua pipinya.
"Aku
tahu itu suamiku, aku tidak meragukan cintamu. Justru karena itu, aku tidak mau
menyakitimu. Aku ingin kau lihat dalam kondisi terbaikku. Aku adalah istri yang
tidak mau dilihat suamiku dalam kondisi buruk. Karena itu ketika aku menyadari
buruknya fisik diriku aku putuskan bahwa Aisha istri Fahri itu telah tiada.
Tetapi aku tetap ingin melihatmu, ingin dekat denganmu, maka dengan berhagai
cara aku mencarimu, akhirnya aku menemukanmu. Dan Allah mengizinkan aku hidup
satu rumah denganmu."
"Kau
sungguh tega istriku, kau bisa melihatku, mengetahui keadaanku, bahkan aku tahu
kaulah yang menguatkan Hulya untuk semakin mantap menikah denganku, kau juga
membujukku untuk menikahi Hulya, kau yang memberikan saran-saran bagaimana agar
Hulya tetap sabar menemaniku ketika aku nyaris putus asa tidak bisa menjadi
suamiyang baik Hulya. Kau juga yang menyarankan Hulya membacakan puisi itu. Kau
merawat Umar seperti anakmu sendiri. Kau menemukan apa yang kau cari. Tapi kau
biarkan aku terus merana dalam penyesalan mendalam merasa kehilangan Aisha. Kau
biarkan aku siang dan malam menyesal tidak menemani Aisha ke Palestina. Kau
tega sekali istriku, kau tega sekali !"
"Demi
Allah, tidak ada maksud dariku untuk menyakitimu suamiku. Justru aku ingin
menjaga kehahagiaanmu. Cukuplah kau tahu istrimu Aisha mati tak tentu di mana
jasad dan kuburnya. Cukuplah kau tahu Aisha yang kau cintai itu wafat dalam
misi suci membela agama Allah dengan penanya. Aku tak ingin kau tahu apa
sebenarnya yang terjadi pada Aisha -mu yang malang itu, sebab Aisha-mu sendiri
tidak mau mengingat peristiwa yang menimpanya."
"Sedemikian
sakit dan menderitanyakah dirimu istriku, sampai kau tidak mau berbagi cerita
kepada suamimu?"
Aisha
meraih tubuh Fahri dan memeluknya dengan erat. Ia menangis dalam pelukan Fahri.
Aisha menangis tersedu-sedu. Fahri membiarkan istrinya itu menuntaskan
tangisnya hingga merasa lega.
"Menangislah
Sayang, menangislah dalam pelukan suamimu yang sangat mencintaimu. Aku tahu kau
selama ini pasti sering menangis. Tapi kau belum lega sebelum kau menangis
dalam pelukanku seperti dulu-dulu itu. Menangislah, aku bahkan merindukan
tangismu Sayangku."
"Rasanya
aku tidak ingin melepaskan pelukan ini."
"Aku
juga, istriku Sayang."
"Mungkinkah
aku hidup tanpa melepaskan pelukan ini?"
"Sayangku,
demi Allah, secara fisik mungkin aku tidak memelukmu, tetapi jiwaku tidak
pernah berhenti memeluk dan menciumimu."
"Sudah
lama aku tidak mendengar kalimat itu." Aisha mengambil napas panjang dan
melepaskannya dengan penuh kelegaan, bersamaan itu ia melepas pelukannya.
"Yang
paling penting, doakanlah, suamimu yang dhaif dan penuh dosa ini layak
memelukmu di surga nanti dalam naungan ridha Allah yang Maha Pengasih."
"Allahumma
taqabbal' ya Allah."
"Sekarang
ceritakanlah apa yang terjadi padamu sesungguhnya istriku. Aku tahu selama ini
tidak ada orang yang kau jadikan tempat untuk berbagi. Kau sendirian. Hanya
Allah yang jadi temanmu. Aku yakin kau tidak menceritakan apa yang sesungguhnya
kau alami kepada siapa pun, pasti hanya kepada Allah kau menangis dan
bercerita. Ceritakanlah apa yang terjadi dan bagaimana kau bisa hidup dan
sampai di Edinburgh. Sejak kau bilang di Palestina aku selalu memeriksa semua
akun bank atas namamu. Tapi tidak ada satu sen pun yang kurang, artinya kau
tidak mengambil uang sama sekali. Padahal sebenarnya kau bisa mengambilnya dari
mana saja. Kau punya pasword dan pin-nya."
Aisha
tampak ragu.
"Ceritakanlah,
suamimu berhak tahu. Ini perintah suami, dan perintah suami harus ditaati. Aku
masih ingat detik-detik terakhir kali melihat wajahmu itu. Itu adalah sore yang
dingin, 2 November 2007 aku mengantarmu ke bandara Muenchen, kau akan terbang
ke Amman untuk pergi ke Palestina. Kau akan bertemu Alicia di Amman. Tahukah
kau istriku, begitu kau hilang dari pandanganku, aku sudah langsung rindu luar
biasa padamu. Bahkan sebelum berpisah pun aku merasa rindu. Tanggal 3 November
kau kirim kabar sudah berada di sebuah hotel di kota Amman hersama Alicia. Kau
minta didoakan besoknya tanggal 4 akan masuk Palestina. Dan itu adalah kabar
terakhir darimu, itu suara terakhirmu yang aku dengar lewat telepon. Setelah
itu apa yang terjadi? Kau seperti hilang dari muka bumi ini. Tanggal 29 Januari
2008 aku mendapat kabar dari keluarga Alicia bahwa Alicia telah ditemukan
menjadi mayat dengan kondisi mengenaskan di pinggir daerah Hebron, Israel.
Nyawaku rasanya mau copot dari ragaku karena sedihku mengingatmu. Usaha
menemukan jejakmu aku usahakan dengan berbagai cara tapi hasilnya nihil. Apa
yang sesugguhnya terjadi
padamu istriku?"
[1]
Ya Allah terima dan kabulkan.
Aisha
diam, air matanya meleleh kembali. "Pagi itu tanggal 4 November, selesai
sarapan aku dan Alicia langsung meluncur ke perbatasan Palestina. Setelah
proses imigrasi yang melelahkan, kami bisa masuk Palestina. Kami langsung ke Al
Aqsa, karena kami perempuan kami bisa masuk Masjidil Aqsa dan shalat Dhuhur di
sana. Aku ingin tahu bagaimana kehidupan orang Palestina sehari-hari. Bagaimana
rasanya rumah di gusur? Bagaimana rasanya setiap hari diintimidasi tapi mereka
kuat? Bahkan ketika dunia menutup mata atas penderitaan yang mereka alami,
mereka tetap tegar. Alicia itu wartawan yang cerdas. Ia dapat kontak seorang
aktivis perempuan Palestina bernama Amina di Distrik Dawara, Selatan Hebron.
Itu kira-kira 25 kilometer dari Yerusalem.
Siang
itu setelah makan siang di Yerusalem kami langsung ke Distrik Oawara untuk
menemui Amina dan keluarganya. Kami disambut dengan hangat. Mereka membuat semacam
pesta menyambut kedatangan kami. Sebenarnya hari itu aku mau kirim kabar
kepadamu, tetapi saying ketika di Masjidil Aqsa batere habis, dan ketika sudah
di charge di rumah Amina, pulsa habis. Aku tahu ada panggilan darimu hari itu,
tapi aku tidak bisa memanggil balik. Aku berpikir besok pagi akan ganti nomor
Palestina untuk menghubungimu.
Malam
itu kami menginap di rumah Amina. Dia janda beranak satu. Suaminya mati
ditembak tentara Israel. Hidup bersama ayah dan ibunya yang sudah tua. Dia anak
bungsu. Lima saudaranya
sudah
syahid semua, mati syahid mempertahankan tanah ladang keluarganya yang dirampas
Israel.
Kejadian
yang tidak pernah aku bayangkan terjadi malam itu. Kira pukul dua malam rumah
Amina digedor sangat keras. Aku dan Alicia tegang. Amina bangun membuka pintu.
Ternyata tentara Israel. Jumlah mereka belasan. Mereka marah bahwa Amina dan
keluarganya tidak mengindahkan
peringatan
mereka agar mengosongkan rumah itu. Mereka semakin marah ketika mengetahui
bahwa kami adalah tamu. Identitas Alicia sebagai wartawan tidak bisa
disembunyikan setelah tentara itu menggeledah semua benda yang kami miliki.
Mereka
mengamuk. Ayah Amina yang sudah renta dipukuli sampai pingsan. Ibu dan anak
Amina diseret keluar rumah. Amina sendiri ditangkap dan sampai sekarang aku
tidak tahu nasibnya. Aku dan Alicia malam itu digelandang ke pos militer Israel
setelah semua dokumen kami dibakar. Malam itu kami diinterogasi secara
terpisah. Kami diinterogasi sampai pagi. Kami lalu dijebloskan ke dalam sel
terpisah. Sejak itu aku tidak tahu apa yang dialami Alicia. Nanti aku tahu apa
yang dialami Alicia justru di internet ketika aku bisa keluar dari Israel.
Mereka
menganggap aku bagian dari jaringan teroris Palestina yang mengancam Israel.
Mereka menyangkal semua penjelasanku. Aku dianggap mata-mata berbahaya. Aku
dijebloskan dari satu penjara ke penjara lain yang berbeda. Sampai aku
dijebloskan penjara perempuan. Awalnya aku
sendirian
di sel itu, lalu seorang perempuan dengan wajah pucat dilempar begitu saja ke
dalam sel itu. Perempuan itu mengalami penderitaan luar biasa, ia cerita baru
diperkosa para durjana itu. "Pemimpin para penjahat itu bernama
Baruch!" Kata perempuan itu.
Tak
lama sel dibuka. Dua orang tentara perempuan bersenjata memberikan pakaian
ganti, handuk, dan tisu basah. "Bersihkan dirimu, ganti pakaianmu, tiga
jam lagi giliran kau akan diinterogasi. Komandan yang akan langsung
mengintrogasi kamu. Jangan sampai kau berjumpa dengannya dengan pakaian
bau!"
Memang
satu minggu sudah aku tidak mandi dan tidak ganti pakaian. Setelah penjaga itu
pergi, perempuan itu memberitahuku dengan air mata berlinang. "Itu artinya
kau akan diperlakukan seperti aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya
menyelamatkan kamu!"Aku kaget. Aku teringat engkau suamiku. Kehormatan diriku
ini hanya boleh kau miliki. Aku mencari akal bagaimana bisa lolos dari tindakan
keji itu. Aku teringat yang pertama membuat orang tertarik adalah wajah. Maka
aku harus membuat wajahku tidak menarik. Saat itu juga aku goreskan wajahku ini
ke dinding penjara yang kasat Aku rusak serusak-rusaknya. Perih dan sakit aku
rasakan, tetapi sakitnya jasad lebih ringan dari sakitnya jiwa. Lebih baik
wajahku rusak tapi kehormatanku tidak rusak. Itu yang ada dalam pikiranku saat
itu.
Tentara
perempuan itu datang dan marah besar melihat keadaanku. la memberi laporan pada
komandannya. Dan komandan itu marah besar, ia langsung datang ke sel. Aku masih
ingat wajah komandan itu, ya itu adalah Baruch, anak angkat Nenek Catarina itu.
Dia marah luar biasa. "Baik kalau itu yang kau inginkan. Kau ingin merusak
dirimu, aku kabulkan!" Geramnya. la menyuruh anak
buahnya,
membawaku ke ruang sebelah.
Di
sana aku disiksa sejadi-jadinya. Air keras dicipratkan ke muka yang berdarah.
Punggungku dicambuk sampai hancur. Lalu Baruch menusuk kemaluanku dengan
menggunakan besi paralon. Ia tidak memperkosaku tapi ia hendak membunuhku
dengan cara seperti itu. Aku merasakan kesakitan yang tidak terperikan, saat
itu aku teringat Sumayyah, wanita pertama yang mati syahid ditombak kemaluannya
oleh Abu Jahal. Oh, seperti itu sakit yang dirasakan Sumayya. Aku sekarat saat
itu, lalu semuanya gelap, dan tidak ingat apa-apa. Aku pikir aku mati.''
Air
mata tidak berhenti mengalir ketika Fahri mendengar cerita istrinya itu.
“Ketika
aku sadar aku sudah berada di dalam sebuah sel besar yang berisi
perempuan-perempuan pejuang Palestina. Ada seorang dokter perempuan di situ. Ia
begitu telaten merawatku dengan obat seadanya. Akhirnya aku sembub. Dengan muka
hancur, dan kemaluan rusak. Aku merasa tidak akan keluar dari penjara itu.
Banyak perempuan yang mati di dalam penjara karena sakit dan tidak diberi obat.
Keadaan diriku oleh perempuan-perempuan Palestina dianggap mukjizat.
Di
dalam penjara itu aku sempat menghafalkan Al Qur'an sepuluh juz. Aku talaqqi
pada pemimpin pejuang palestina di penjara itu, bernama Ruqayya Abdul Aziz
Amin. Dia hafal Al Qur'an, dan dosen Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam
Gaza.
Setelah
hampir dua tahun di penjara, tiba-tiba diumumkan babwa setengah dari perempuan
di penjara itu akan dibebaskan dalam pertukaran tahanan antara Israel dan
Palestina. Aku termasuk yang dipilih oleh Ustadzah Ruqayya. Ketika aku tanya
kenapa aku dipilih, kenapa bukan perempuan yang lain? Ustadzah Ruqayya
tersenyum. Ia memberiku bekal surat dan uang secukupnya. Aku diminta menemui
seorang kenalannya di Amman.
Kenalannya
yang di Amman memperlakukan diriku dengan sangat baik. Ia bahkan meminta diriku
tinggal di sana. Tetapi aku ingin hidup tak jauh darimu, suamiku. Aku sudah
memutuskan bahwa Aisha telah hilang. Aku tahu aku bisa saja mengambil uang dari
rekeningku tapi itu akan membuatmu curiga. Aku sama sekali tidak mengotak-atik
aset yang aku punya. Dari Amman aku dititipkan pada truk ke Damaskus. Dari
Damaskus aku dititipkan truk barang ke Istanbul. Dari Istanbul aku menyeberang
ke Yunani. Dari Yunani aku naik kapal ke Italia. Lalu jalan darat ke Austria.
Aku akhirnya sampai ke rumah kita di Munchen. Aku mencari informasi
keberadaaanmu. Kau baru satu minggu meninggalkan Jerman untuk tinggal di
Edinburgh. Aku langsung tahu, kau masih sangat mencintaiku. Sebab Edinburgh
adalah kota yang aku impikan. Dengan berbagai cara, di musim dingin yang
menggigit aku melakukan perjalanan untuk bisa sampai di Edinburgh. Dan akhirnya
sampai.
Selama
perjalanan darat yang panjang itu, aku mengemis. Hal yang dulu tidak pernah
terpikirkan
sama
sekali. Dan engkau benar suamiku, aku tidak punya teman. Temanku adalah Allah.
Beberapa kali dalam perjalanan itu aku mau dikurang-ajari, tetapi begitu
melihat wajahku yang buruk, akhinya itu tidak terjadi.
Itulah
yang terjadi pada diriku suamiku. Aku sedikit lega ketika kau menendang Baruch
yang nyaris membunuhku itu. Itu memang harus kau lakukan. Dan aku bahagia
durjana itu akhirnya mati.”
“Kemarilah
istriku !"
Aisha
mendekat. Fahri mencium keningnya Ialu memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"Aku semakin kagum padamu istriku, bagaimana kau begitu telaten merawat
Nenek Catarina itu, padahal anak angkatnya adalah orang yang telah melakukan
kekejaman luar biasa padamu. Jiwamu sungguh besar."
“Jiwa
orang – orang Palestina jauh lebih besar. Dokter perempuan yang menolongku itu
pernah menyelamatkan nyawa seorang tentara Israel. Dan tentara itu adalah yang
menembak mati suaminya. Nenek Catarina tidak ada sangkut pautnya dengan dosa
anak angkatnya. Islam mengajarkan kita untuk bersikap adil dan baik kepada
siapa saja, apalagi tetangga.”
Fahri
melepas pelukannya. Dan menatap lekat-lekat wajah Istrinya.
"Apakah
semua lukamu sudah sembuh ?"
"Alhamdulillah."
"Luka
yang ditusuk besi itu, apakah masib menyisakan perih dan nyeri. atau sudah
sembuh?"
"Sudah
sembuh total alhamdulillah. Sudah normal kembali seperti biasa, tapi bentuknya
menjadi rusak, kau akan ngeri melihatnya."
"Itu
bisa diperbaiki. Apakah kau tahu ini tanggal berapa?" Aisha menggeleng.
"Ini
tanggal 27 September, hari ulang tahun pernikahan kita. Nanti malam, setelah
Tahajjud insya Allah kita bisa beribadah bersama mengingat kebesaran Allah
dengan cara yang mesra, sekarang ayo kita temui keluarga besarmu.”
“Mereka
di mana?”
"Di
sini, di hall utama Kable College, mereka menunggu kita makan malam."
"Mereka
tahu aku adalah Aisha?"
"Ya.
Sejak aku lihat tanda lahirmu itu aku beritahu semua keluarga besarmu. Paman
Eqbal, Bibi Amina, Paman Akbar Ali, Bibi Melike, Ozan, Claire dan semuanya. Si
Kecil Umar juga menunggumu di sana."
“suamiku."
“Ya."
"Aku
sangat mencintaimu. Ik günkü a kla hep birlikte.[2]"
"Indah
sekali kalimatmu, Sayang. Aku juga mencintaimu, Hulya.“
"Hulya?!
" Muka Aisha memerah.
"Oh
maaf, Aisha. Aku sangat mencintaimu Aisha. Oh, Aisha berwajah Hulya."
Aisha
tersenyum. Di mata Fahri itu adalah senyum Hulya, sebab bibir itu adalah
bibirnya Hulya, meskipun jiwa yang tersenyum adalah jiwa Aisha.
alangkah manis bidadariku ini
bukan. main elok pesonanya
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya bibirnya,
Mawar merekah di taman surga
~ TAMAT ~
[2]
Sejak pertama jumpa dengan cinta kita selalu bersama.
Bab
terakhir novel ini ditulis dalam perjalanan Salatiga - Solo – Jakarta - Kuala
Lumpur – Tanjong Malim, pada tanggal 30 Oktober 2015, dan diselesaikan di Rumah
Felo Blok 9, Kampus Sultan Azlan Shah, UPSI, Tanjong Malim, pada hari Sabtu 31
Oktober 2015 jam 16. 15 sore. Wa shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wal
hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Ditulis
oleh : Aiya Selvia
Sumber Novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habibburrahman El- Shirazi
Part terakhir
novel repost dari
時間の砂