Postingan
Yang Hilang ……
TULISAN
PERTAMA
Dendam
Penulis
By: Mommy asf
Belasan tahun
lalu, saat masih duduk dibangku SMA, aku memang suka menulis. Sekedar bercerita
khayalan ABG demi mencari eksistensi diri. Kata orang bijak, penyakit yang
tidak ada obatnya itu malas. Penyakit itu mengurung hobi menulisku. Dan seiring
pertambahan usia dan kesibukan, urusan tulis menulis pun lupa sudah.
Berkembangnya jejaring sosial kembali menggelitik
semangat menulisku. Sekedar merangkai kata distatus dan mengisi caption foto
yang kuunggah.
Walaupun isi nya hanya coretan receh berisi
kebahagiaan dirumah bersama keluarga.
Hingga suatu ketika, kepedihan itu datang dari
sana!
Suami yang sudah kudampingi bertahun tahun,
menemukan cinta baru pada seorang selebgram yang cantik, muda dan terkenal.
Tanpa memandang status suamiku yang beranak empat, sang gadis cantik pun, rela
dijadikan yang kedua.
Ku enyahkan
semua akun sosial mediaku. Marah, benci, sedih membuatku anti sosial. Ku
kambinghitamkan rasa hancurku pada sosial media. Membuka nya membuatku berduka.
Tentu murka ku tak berdampak apa apa pada jejaring sosial yang kutinggalkan.
Justru, perlahan kurasakan kehilangan tempat untuk menyalurkan hasrat menulis.
Allah Sang Maha Baik, mempertemukan aku dengan
sahabat literasi. Seorang ibu yang menyarankanku untuk kembali menulis.
Melampiaskan isi hati dan suka duka melalui aksara. "Writing is
healing," sarannya.
Akhirnya inilah tulisan pertamaku. Cukup mengobati
luka.
Semoga, goresan tinta berikutnya mampu memberi
energi positif bagi ku dan mengembalikan ketenangan. Jujur, ini bagai dendam
yang tertunaikan.
Mommy
Bali 20 oktober 2019
================================================
● PART 1 ●
Layangan
putus
By : mommi
asf
16.32
“mommi aku mau kumon habis ini.” ucap anak
sulungku. Aku menatapnya sedikit tak percaya
“abang ngga capek sayang?”
“engga kok, kan aku kumon kan? Matematika ya
mommi?”
Aku tersenyum mendengarnya. Kita masih setengah
perjalanan menuju rumah dari sekolah.
Amir anak sulungku genap berusia 8 tahun awal bulan ini. Sekarang dia sudah duduk dikelas 2 sekolah dasar. Tahun lalu dia memang mengambil kelas bahasa inggris dan matematika di kumon. Namun kami putuskan untuk berhenti mengambil subjek Bahasa inggris karena Amir lebih tertarik belajar di English First. Lembaga les bahasa asing yang menitik beratkan pada latihan percakapan menggunakan bahasa inggris. Tak berselang lama matematika pun harus dihentikan, sebab bertabrakan dengan jadwal sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.
Tetapi hari minggu kemarin, kudampingi dia
mengerjakaan PR di buku tematik. Amir terlihat kepayahan dalam menyelesaikan
soal matematika. Padahal saat masih belajar di kumon dia sangat lancar menjawab
hitungan sederhana. Iseng aku tawarkan untuk kembali mengambil bimbingan
matematika di kumon, dengan catatan berhenti sejenak les di EF, dengan tidak
mengambil term selanjutnya. Selain karena sisa waktu nya yang terbatas aku juga
mengkhawatirkan biaya nya. Ternyata respon nya cukup baik, terbukti dia
menanykan hal ini.
“abang hari ini belum kumon dulu, mommi kan belum
daftar ulang, insyaalloh bulan depan ya, doain mommi ada rejeki untuk bayar les
kumon nya ya”
“hmm mommi gak punya uang ya?” pertanyaan polos nya
membuat aku tersenyum. Tersirat dari ucapan nya, dia mengerti kondisi keuangan
kami tidak sebaik tahun tahun sebelumnya, juga ada rasa ngilu karena apa yang
diucapkan Amir ada benarnya.
“mmm sekarang beluum.. belum loh bukan TIDAK ada..
kalau buat belajar nya abang, mommi yakin nanti akan ada uangnya.”
Dia mengangguk dan kembali mengikuti lantunan
murottal Ibrahim el-haq dari audio mobil.
16.55
45 menit kami berkendara akhirnya sampai dirumah.
Kuparkir dengan rapi dan kumatikan mesin mobil.
“abang mandi ya sayang.. seger segerin badanya,
istirahat sebentar, sambil siap siap ke masjid ya. Mommi mau bangunin adek
ya..”
Amir turun dari mobil dan masuk ke dalam kerumah,
sementara aku membangunkan pelan Arya yang tertidur di kursi belakang.
Kukeluarkan barang barang bawaan sekolah anak anak
yang masih tertinggal di mobil seraya menggendong putra kedua ku.
Disambut Abi, putra keempatku dari dalam rumah,
“mommi….” Dengan membuka kedua tanganya, ia meminta ku peluk.
Aku memang mengajarkan anak anaku setiap kali
berjumpa harus saling peluk. Ya kami adalah team hugger.
Tapi kali ini di dekapanku ada Arya, sehingga aku
hanya menyambut Abi dengan senyuman dan mimik bahagia.
“Adeeeek… sini sini sini” kuarahkan ia ke sofa
ruang tamu, ku letakan pelan Arya yang juga mulai terjaga, kemudian ku dekap
erat Abi.
“assalamualaikum sayang…” kuhujani pipinya dengan
ciuman bertubi tubi.
“mmmmmmmhhhuuuaaahhh…. “ ia pun membalas mencium
pipiku..
Arya yang sudah terbangun kupinta segera
menyegarkan diri.
“Alman ngaji mba?” kutanya asisten rumah tanggaku
yang sibuk merapikan tas anak anak.
“iya bu..” jawab nya singkat dan berusaha mengajak
Abi main keluar
“ayok Abi, main sepeda … biar mami mandi dulu ya”
18.09
Adzan magrib berkumandang. Alman anak ketiga ku
pulang kerumah setengah jam yang lalu, ia bersemangat menemuiku dan memamerkan
hasil tulisan arab nya yang di nilai 90 oleh guru mengajinya. Bahagia itu
sederhana. Dia senang sekali mendapat hadiah permen dari ustadzah karena sudah
berhasil menghapal surah AL Asr.
Amir, Arya, dan Alman berlomba meraih tanganku untuk
berpamitan, bergegas menuju mushola dan berlari, berlomba siapa yang lebih dulu
sampai untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
Haru bahagia menyeruak ke dadaku.
MasyaAlloh.
Bahagia itu sederhana.
Mushola memang tak berjarak jauh dari rumah. Hanya
terhalang satu rumah dari tempat kami tinggal. Anak anak sudah biasa berangkat
sholat dan mengaji sendiri. Ini salah satu yang membuat aku terus berusaha
mempertahankan rumah ini. Lokasi mushola yang sangat dekat dari rumah dan rasa
kekeluargaan yang sangat erat antar tetangga ditengah keberadaan minoritas
kami, menjadikanku sangat nyaman dan betah disini.
19.58
Anak anak masih belum pulang dari mushola, mereka
mengerjakan sholat isya disana.
Arya memang tidak pulang sedari magrib tadi,
berbeda dengan kakak dan adeknya. Amir dan Alman memilih makan malam selepas
magrib di rumah. Sedangkan Arya di hari senin dan kamis terbiasa ikut buka
puasa sunnah bersama di mushola.
Kulipat mukena dan sajadah ku, kurapikan tempat
tidur kami.
Geruduk geruduk duk duk..
Langkah kaki anak anak berlomba menaiki tangga
menyerbu masuk kekamarku
“assalamualaikum…” teriak mereka hampir bersamaan.
Masing masing antri memelukku.
“mommi tadi makan nya pakai sateeee” laporan Arya.
“hooo abang Arya tadi gak pulang setelah magrib
makan di mushola toh?” aku pura pura tidak tahu
“iyaa ini kan senin”
“hooo iya ya hehe.. mommi ga dibawain sate nih?”
ucapku menggoda nya
“weeee ga boleeh.. kalau mau mommi ke mushola aja
besok besok” aku hanya tersenyum mendengarnya.
Kupinta mereka segera berganti baju, bersikat gigi
dan pipis.
Kutanya mereka apakah ada tugas sekolah atau tidak.
Kompak semua menjawab tidak ada. Jadi kami habiskan malam itu dengan bermain di
Kasur, mencoba jurus asal asalan ala boboiboi, kartun kesukaan mereka yang
berasal dari negeri seberang. Hingga waktu nya tidur tiba, pukul 21.00. Tak
jarang waktu tidur akan tiba lebih awal kalau salah satu diantara mereka
mengalami ‘kecelakaan’ dalam bercanda. Signal kecelakaan muncul jika salah satu
atau dua atau tiga atau bahkan keempatnya menangis.
22.54
Kupandangi wajah mereka satu satu, terlelap dalam
ketenangan malam.
Kuciumi mereka dan terus kubisiki kata maaf. Kuusap
rambut mereka perlahan, kembali kata maaf yang terucap untuk mereka.
Aku, 32th, perantauan dari pelosok daerah. Hidup di
bali sudah 14 tahun. Aku menjalani Pendidikan dokter hewan di universitas
negeri udayana tahun 2004. Pulang kampung 2011 hanya untuk menikah, kemudian
kembali ke bali karena suamiku bekerja disini.
Suamiku, yang kini sudah resmi menjadi mantan.
Perbedaan umur 7 tahun bukan jaminan sebuah hubungan akan berjalan tanpa
hambatan.
Aku resmi menjadi janda setelah 8tahun pernikahan.
Walau aku sudah menemaninya dari tahun 2005. Total aku mengenalnya adalah 14
tahun. Pernikahan kami menghasilkan 5 orang anak. Anak bungsuku meninggal saat
kulahirkan 4bulan lalu.
Istigfar tak lepas dari bibir dan hatiku,
kupandangi terus wajah anak anakku, kuucapkan maaf di sela sela istigfarku.
“Maafin mommi ya nak, semua tidak akan mudah
seperti dulu, kita belum bisa liburan, kemping bersama, membuat api unggun,
membakar kayu.. untuk sekarang.. tapi Alloh pasti beri jalan.. pasti kalau kita
mau bersabar kita akan liburan kemanapun abang mau..” lirih kubisikan ke
telinga Amir, kuciumi pelan pipinya
“Arya anak sholeh, hari kamis puasa sunnah beneran
ya nak, insyaAlloh robot yang Arya mau akan ada jalanya nanti kita beli,
semangat hapalan quran ya sayang.. mommi minta maaaf Arya belum bisa beli
mainanya sekarang ya” kusapu lembut pipinya yang basah terkena airmataku
Tak terasa aku menangis..
“mommi minta maaaaaaaf ya adek,, adek kangen daddy
insyaAlloh ketemu weekend ya nak.. doakan daddy sehat ada waktu untuk main lagi
sama Alman ya” kali ini aku terisak pelan.. kutahan sesenggukku karena Alman
merespon dengan mengubah posisinya. Aku takut membangunkanya. Teringat
pertemuan terakhir mereka, Alman menangis mendengar suara mobil daddy nya
pergi.
Terakhir Abi.. hanya pelukan yang sanggup kuberikan
pada bayiku yang masih berusia 2 tahun ini. Kuciumi ubun ubun nya. Sambil
kutiup pelan dan kusematkan doa “Robbi habli minash sholihiin” berulang kali.
Istigfar berulang ulang kali kulantunkan. Teringat
spp Salman yang belum kulunasi.
Dan siang ini aku mendapat surat cinta dari PLN.
Seorang petugas menaruh surat peringatan akan adanya pemutusan sementara aliran
listrik bila tidak segera melakukan pembayaran. Berbagai kekhawatiran melintas
dipikiran.
Seperti layangan putus, rasanya badan ini pengen
oleng mengikuti kemana angin bertiup.
‘Grooook…fiuuuhhh…ggrrkkk…fuuuuh..’ suara dengkuran
abang Amir membuyarkan lamunanku
‘astagfirullah wa atubu illaih….’ Aku keraskan
dzikirku, ku sadarkan diriku,
‘astagfirullah…’ ku lihat kembali malaikat malaikat
mungilku satu persatu.
Aku punya Alloh untuk bersandar, tidaklah aku harus
panik.
Daddy mereka boleh saja memutus komunikasi dengan
ku, ibu dari anak anaknya, bersikap acuh dan mencabut segala fasilitas dirumah
ini, menghapus supir untuk anak anak, dan tidak mau mensuport biaya hidup anak
anak, biaya pendidikan dan kesehatan. Aku punya Alloh untuk bersandar. Aku
punya Alloh untuk meminta dan memohon.
Anak anakku akan jadi anak bahagia yang sukses
dunia dan akhirat.
Kutatap wajah wajah polos mereka yang tanpa dosa,
suatu saat nanti mereka akan menjadi orang orang hebat yang menerangi dan
bermanfaat orang orang disekelingnya dimana pun mereka berada.
Aku hapus airmataku, kuteguk air putih yang memang
sudah disiapkan embak ku setiap hari sebelum kami menuju tidur. Berjalan aku
menuju kamar mandi dan berniat melakukan sholat sunnah 2 rakaat sekadar untuk
curhat dengan Alloh. Tapi sebelum sampai kamar mandi langkahku terhenti melihat
ponsel ku bergetar. Ah panggilan dari nomor tak dikenal. Kulihat jam sudah
menunjukan hampir tengah malam. Aku memilih tidak mengangkat telepon dari nomor
tak dikenal diwaktu menjelang tengah malam. Kulanjutkan menuju kamar mandi.
Kutunaikan niatku untuk sholat sunnah. Berlama lama aku sujud memohon ampun,
curhat kepada sang pencipta. Sajadahku basah oleh airmata.
03.10
Aku terbangun dari sajadahku, tergopoh mendatangi
Abi dan mengambil botol kosong, kuisi segera dengan susu UHT yang sudah
tersedia di meja samping tempat tidur. Ku berikan ke bibir mungilnya, seketika
tangisnya berhenti. Aku bersiap melanjutkan tidur, ku cari dulu ponselku karena
ingin memundurkan alarm subuh. Aku ingin istirahat lebih lama karena kurasakan
kepala ini masih sakit akibat menangis semalam, dan sepertinya mataku bengkak.
‘neneeeeeeeek im coming home! C u next week di
bali! Sambut gue dengan tari hula hula.lets start some business. I love you’
isi pesan singkat dari nomer handphone itu.
Ternyata semalam telepon dari Dita. Sahabatku saat
kuliah dulu. Dia memang mengabarkan akan kembali ke Indonesia setelah bekerja
sebagai dokter hewan di Canada selama dua tahun.
‘Alhamdulillahilladzii bini’matihi
tatimmusshoolihaat’
Dita mungkin bukan jawaban dari segala
permasalahanku, tapi pesan singkat nya tidak mungkin sebuah kebetulan. Allah
yang Maha Baik yang mengatur segala pertemuan dan perpisahan.
Melalui pesan nya Dita membangkitkan semangatku.
Bismillah, kedukaanku hari ini bukanlah akhir
dunia.
Dengan menyebut nama Alloh kupeluk Abi yang masih
sibuk menyedot botolnya sambil terpejam. Kupasrahkan hidup dan matiku esok pada
hanya kepada Alloh pemilik alam semesta.
================================================
● PART 2 ●
by Mommi Asf
19 september 2019
Lembar putusan pengadilan agama mengenai perceraian
sudah kuterima. Aku hela nafas panjang. Lega, sedih, sesak, bercampur di setiap
hembusan nafas. Aku baca lagi berulang.
"Alhamdulillah" batinku, berusaha
menyempatkan untuk bersyukur dalam setiap keadaan.
Resmi sudah aku sendirian. Aku yang bertanggung
jawab atas diriku sendiri, dan menanggung segala keputusan kedepan.
Seperti kehilangan satu kaki, aku berusaha tetap
tegak melangkah. Pun selama setahun setengah menjalani poligami, yang aku
rasakan memang kakiku sudah sakit sebelah. Ibarat dalam sisi medis, saran
terbaiknya adalah mengamputasi kaki yang sudah luka dan membusuk. Sebelum
menjalar menyakiti organ lainya.
Tin tiiin tiiiin
Klakson mobil dibelakang mengagetkanku, aku sadar
dan memacu mobilku menuju rumah.
Aku bergegas mandi sesampainya dirumah. Jarang aku
berlama lama di kamar mandi. Tapi, kali ini, aku betah berdiri dibawah kucuran
air.
****
12 february 2018
Selesai subuh, aku mencari suami, ingin
menggodanya. Semalam, ia tak masuk kamar melihatku, atau sebenarnya dia sudah
melakukannya, saat aku tertidur lelap.
Kubuka kamarnya, sepi.
"Oh, mungkin belum pulang sholat subuh dari
mushola," batinku. Tapi, terlihat kamar masih rapi. Selimut terlipat,
bantal dan guling masih tersusun. Tidak terlihat kasur yang habis ditiduri.
Aku bingung, suamiku tidak izin menginap di kantor.
Kuambil ponsel dan menghubunginya. Tersambung, tapi tidak ada jawaban. Kuulangi
hingga berkali kali . Nihil.
Kulihat jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, langit
sudah terang, gak mungkin dia di mushola selama ini. Aku mulai jengkel,
kutelepon supir kantor. Kucecar Selamet dengan pertanyaan.
“Lho Mba, sampeyan kan, istrinya! Moso mas Arif ga
ada ngabarin?” jawab Selamet kaget.
“Kemana dia?”
“Ga tau aku mba! Cuma nganter ke bandara tok
wingi....”
Reflek kuperiksa brankas mini yang terletak
dilemari. Pasportnya tidak ada. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.
Aku duduk dikamarnya mencari pentunjuk.
Semenjak anak keduaku lahir, memang suami lebih
nyaman tidur dikamar ini. Kecil tapi tenang baginya, tidak terganggu suara
tangis bayi.
Setiap pulang kantor seringnya malam hari,
rutinitas kami adalah bercengkrama di ruang tv sampai lelah. Dia terkadang
mengajakku bercerita di kamar ini sampai terlelap. Kemuadian aku pindah ke
kamar utama kami, karena di sanalah anak anak kami tidur. Arya masih sering
terbangun tengah malam berteriak mencariku, minta dipeluk.
Kusadari kameranya tidak ada. Kemarin, dia memang
pamit akan pemotretan untuk liputan motor BMW, karena itu, koper cabinnya yang
berisi kamera dibawa serta.
Tak ada pikiran aneh Aku percaya semua kalimat
suamiku. Tapi, kenapa dia pergi tidak jujur padaku! Kemana dia?
Aku ingat lagi, kemarin tidak ada yang aneh, tidak
ada yang salah. Sebelum dia pergi dari rumah, kami bercumbu mesraaaa sekali.
Hubungan kami bahkan sedang hangat hangatnya. Dia sering menggodaku belakangan
ini. Dan aku sedang hobi mengumpulkan lingerie untuk menyenangkannya.
Kami sedang semangat berolahraga agar lebih fit.
Sehingga Ranjang kami hidup sekali. Terlebih lagi, aku sangat percaya dia. Dia
pemilik channel dakwah di youtube. Mas Arif paham, menyentuh lawan jenis adalah
haram baginya. Bahkan, menundukan pandangan terhadap wanita non mahrom adalah
kewajiban. Aku percaya betul suamiku.
Tapi, kemana dia?
*****
24 februari 2018
Hatiku berdebar menjemput suamiku dibandara.
Akhirnya, setelah 12 hari pencarian, dia mengabarkan akan pulang. Mas Arif
memintaku menunggu dirumah. Tapi rasa khawatirku memuncak sudah. aku tidak bisa
duduk manis menunggunya di rumah. Segera kupacu mobil menuju bandara.
Teringat, 10 hari lalu, aku penuh kebingungan
mencarinya, semua kemungkinan berkecamuk di kepalaku. Apakah ia pergi dari
rumah tanpa kabar untuk jihad? Apakah ia ke timur tengah? Karena salah satu
ustadz kenalan kami ada yang pernah mengajaknya meliput ke Suriah saat itu.
Misinya untuk membuka mata dunia bahwa Suriah butuh pertolongan.
Kutangisi niatnya saat itu. Aku tak rela dia pergi
ke timur tengah. Karena itukah, dia saat ini pergi tanpa pamit? Atau apakah dia
bermasalah dengan pihak bea cukai dan kemudian ditahan? Atau dia sedang
terancam bahaya? Diculik dan diancam pihak lawan bisnis?
Aku tak yakin dengan semua firasat tentang
kepergiannya. Yang ada hanya kecemasan yang luar biasa.
Sepuluh hari lalu akhirnya teleponku diangkat
olehnya.
“Mbi aku titip anak anak" ujarnya buru buru.
“Kamu mau kemana? Kamu mau kemanaaa?" cecarku.
“Aku di Jakarta! Mas, pergi dulu. Kamu di rumah
baik -baik sama anak anak ya. Aku titip anak anak ya, Mbi. I love you."
bip bip bip... terputus.
Tidur ku tak tenang. Makanku tak nyaman. Duniaku
berhenti berputar. Aku terus bertanya kemana? Dimana? Kenapa bisa dia pergi?
Apa yang disembunyikan dariku?
Rekan kerjanya kudatangi untuk mencari info, nihil.
Kerabat yang berposisi AKBP, kupinta bantuan melacak nomor gawainya, gagal.
Nomor terdeteksi di daerah pelosok jawa tengah.
Namun, kerabatku menyatakan bahwa pelacakan satelit belum tentu akurat. Hingga
Kucari hacker untuk menemukannya, tapi tetap tak ada hasil.
[ Mbi, sehaaat? Kamu harus sehat ya Sayang. Anak
anak tadi nonton black panther, rindu kamu banget] isi pesanku.
Mbi adalah panggilan sayang kami. Aku lupa apa yang
menyebabkan kami saling memanggil Mbi. Mungkin dari baby kemudian beralih
menjadi Mbi.
Hanya muncul centang satu, tak lama centang dua,
tapi tak pernah centang itu berubah warna menjadi biru. Pertanda tidak dibaca.
Kukirimi mas Arif foto dan voice note suara anak
anak. Tak ada respon.
[Mbi, aku ga tau kamu dimana, sedang apa, aku salah
apa? Mbii, aku janji akan sering masak, pulang ya, Mbi]
[Aku kebangun kepikiran kamu, dimana kamu, Mas?]
Seperti biasa, pesanku hanya centang saru, beberapa
menit kemudian centang dua tapi, tak pernah menjadi biru.
[Mbii, aku kejakarta sekarang! Aku tak peduli jika
harus hilang disana! Aku akan mencari mu sampai ketemu!] Pesanku.
Kemudian dibalas.
[Jangan sayang, batalkan kepergianmu ke Jakarta.
Aku akan pulang besok!]
[Kapan?] balasku singkat.
[Besok malam, Sayang. Tunggu aku ya!]
Kutelepon dia, masih tak diangkat. Lalu kuhujani
mas Arif dengan pesan singkat.
[Kirim tiket mu!]
kukirim berulang pesan itu hingga dia merespon.
[Citilink 24/2, jam 17.00. Tunggulah di rumah! Isya
nanti, aku sudah di rumah, Mbi] jawabnya.
***
Suasana hening di mobil. Dia menyetir dan aku duduk
dikursi penumpang menatap jalan, tapi pikiranku entah kemana.
“Mau makan?”
“Kamu darimana?” jawabku
“Ok. Kita bicara di rumah, ya."
Setiap dia membuka percakapan aku terus menjawabnya
dengan kalimat yang sama.
"kamu darimana?"
Dia ganteng sekali, rapi, bersih dan wangi. Suamiku
memang cenderung metroseksual, dia sangat peduli akan penampilan. Tapi, bukan
itu yang menbuatku jatuh cinta. Bukan fisik bukan pula harta.
Teringat saat pertama kami merintis usaha ini, aku
membantunya berjualan kartu perdana seluler kepada para bule di kuta, sambil
kuliah. Menjajakan pulsa dan menyewakan handphone kepada para turis. Mas Arif
yang mengajari aku untuk tangguh, mengenalkan arti kerja keras.
Romantisme muncul saat uang kami tersisa sepuluh
ribu. Mas Arif membeli dua bungkus nasi jinggo, masing masing seharga empat
ribu. saat dimakan ternyata sudah basi.
Mas Arif tampak kecewa tidak bisa memberiku makanan
yang layak. Sisa uang dua ribu, dibelikan gorengan untukku. Itulah, satu
satunya makanan yang masuk keperutku. Aku terenyuh sekali. Romantis!
***
Mobil kami memasuki rumah. Anak anak menyambut dan
memeluknya. Mereka rindu sekali. Selesai bermain, Arif bergegas mandi. Dan aku
menidurkan anak anak. Setelah mereka terlelap aku duduk diruang tv menanti
jawaban dari berbagai pertanyaan belasan hari belakangan ini.
***
27 February 2019
Tanganku lancang membuka handphone Arif. Setelah
pengakuannya yang lalu, aku masih belum berdamai dengan diriku. Perasaan
hancurku membuat enggan membahas atau bertanya lebih jauh.
Aku memilih mencari tahu dengan tanganku sendiri.
Pun Arif, terkadang sosok yang dingin. Tidak sedikitpun dia berusaha mengajakku
bicara, meminta maaf atau menenangkanku.
Ponselnya disembunyikan di atas rak buku. Tak sadar
airmataku mengalir. Kutemui ratusan foto mereka. Hatiku tersayat ... ngilu. Aku
dalam kecemasan yang amat sangat saat ia menghilang selama 12 hari.
Tapi mas Arif tidak hilang. Dia hanya berhoneymoon
di Cappadocia. Kota impianku.
Aku memang sudah pernah pergi ke Turki saat
menunaikan ibadah umroh, bersamanya. Tapi, kali itu kami tidak menyentuh
Capadocia. Betapa remuknya hatiku melihat dia sudah pergi kesana lebih dulu
dengan istrinya yang baru. Istri muda yang baru 12 hari dinikahinya.
Aku tak kenal perempuan itu. Aku tak pernah bertemu
perempuan itu.
Yang kutahu dari suamiku, wanita itu cantik dan
muda.
Aku marah dan murka. Aku merasa dikhianati. Maaf
dari Mas Arif tak cukup membuatku tenang.
Ya Rabb...
Ampuni aku.
***
19 september 2019
Selesai mandi, aku segera berpakaian. Ini mandi ke
lima ku hari ini. Entah karena gerah atau karena kebutuhanku saat ini.
Menyenangkan sekali berada dibawah kucuran air. Airmataku bias dengan jatuhnya
air yang menyentuh wajah. . Seperti di pijat, kutengadahkan wajahku menghadap
shower. Mata, pipi, dan dahi terkena pancuran air terasa yaman sekali.
Aku sudah segar, rapi dan wangi. Melangkah menuju
kamar tidur, kulihat jam dinding sudah menunjukan angka sebelas malam. Anak
anak tersusun rapi terpejam dikasur.
Bukan saatnya tumbang, aku bukan layangan putus
yang tak tentu arah. PR ku masih banyak, keempat anak ini punya masa depan yang
indah. Aku percayakan semua pada penopangku Alloh sang Maha Baik.
Jauh dilubuk hati, doaku untuk mantan suami. Aku
tidak mampu lagi menunaikan kewajiban sebagai seorang isteri untuknya. Dia
resmi bukan milikku sekarang, kulepaskan segala memori perjuangan cinta kami
yang dulu.
Aku sudah tidak terikat sebagai istrinya. Semoga ia diberi kesehatan, kelancaran dalam segala urusan. Bukan saatnya memaki. Sampai kapan pun,Aku tak boleh bermusuhan. Dia adalah ayah anak anakku. Kuselipkan namanya dalam doa doaku.