By @aiyaselvia
“Ya ayo oper bolanya”, Naya tampak
kelelahan sementara teman-temannya sedang asik mengoper bola. “aku istirahat sebentar”, katanya “kamu sakit ya?” Tanya Bob, Naya
mengeleng lemah, “tumben kamu ngak
seperti biasanya apa kamu sedang sakit?” Sambung andre “aku ngak apa-apa, khawatir banget sih, aku kan Cuma capek aja, ayo
main lagi!”.
Naya emang bukan kayak anak kebanyakan
sikap tomboy dan jarang bergaul dengan perempuan membuat dia terlihat aneh
dimata teman-temannya, sebenarnya bukan ia tidak mau bergaul dengan teman-teman
perempuannya, tapi Naya hanya merasa kurang cocok, antara ia dengan mereka, ia
merasa seperti ada jurang yang membatasi mereka, dari cara bertingkah,
berpakaian, semua serba tidak cocok dengan dirinya. Ia merasa nyaman bila
bergaul dengan anak yang biasa-biasa saja termasuk Doni, Bob, dan Andre
sahabatnya.
Bel masuk sudah berbunyi, Naya beranjak masuk
ke kelas, Ya nanti sore kita latihan
lagi, aku udah atur jadwal buat kita latihan sepak bola, coba deh kamu lihat!
Ucap Doni. “Maaf ya Don kayaknya sore ini
aku ngak bisa deh, aku mau istirahat aja dirumah”. kok tuben kamu nolak
biasanya biasanya kalau kau udah dengar kata bola kamu lansung semangat,
Tanya Doni ngak apa-apa aku Cuma mau istirahat dirumah aja kok jawab Naya
sebari masuk ke kelas.
Bob, Andre Dan Doni adalah sahabat
Naya, awal persahabatan mereka sederhana sama-sama suka bola. Naya juga ikut ekstrakulikuler
dibidang olahrga lainnya, walaupun ia bukan anak yang pandai dibidang olahraga
atau pun pelajaran lainnya, bahkan nilai rapot tahun kemaren anjlok, karena
kegiatannya yang padat akan sepak bola dan basket.
Naya juga bukan berasal dari kalangan
berada tapi sebaliknya, pekerjaan ayahnya yang hanya sebagai pegawai
diperusahaan dan ibu yang hanya penjaga toko, membuatnya sulit membuat
keputusan peting dalam hidupnya
****
Hari
ini matahari tidak bersinar memancarkan cahayanya, gerimis hujan dan awan hitam
yang menyelimuti hari, seolah merasakan rasa sakitnya. Semua berawal di suatu
pagi ketika gelas yang dipegang Naya lansung terlempar ke lantai, tidak terlalu
mengherankan memang, tapi merupakan suatu keanehan ditubuhnya, Naya pun dilanda
kelelahan yang luar biasa, sering pusing dan cepat lelah, mukanya pun sering
terlihat pucat. Mengetahui kondisi itu Ibunya lansung membawa Naya kerumah
sakit. Awalnya Ayah dan ibu Naya merahasiakan penyakitnya, tapi Naya terlanjur
mendengar pembicaraa orang tuanya dengan Dokter Budi.
Leokimia Kronis, mendengarnya saja
sudah ngeri dan menakutkan bagi siapapun apalagi Naya memperoleh kenyataan
kalau penyakit itu bersarang ditubuhnya, masa remaja yang indah, kini harus terengut
oleh penyakit yang bernama Leokimia dan berujung sebuah kematian.
Seiring berjalannya waktu, hari demi
hari yang ia rasakan dengan rasa sakit yang semakin menyeruak, Naya
perlahan-lahan menelusuri koridor sekolahnya, berpura-pura bersikap biasa saja
pada teman ataupun sahabatnya tentang penyakitnya, bersikap seolah tidak
terjadi apa-apa, dan berpura-pura tidak tahu tentang penyakitnya pada orang
tuanya. Naya ingin menumpahkan semua kesedihannya pada orang lain, tapi pada
siapa, mama, papa, atau sahabatnya, semua itu tidak mungkin, ia tidak ingin
semua orang khawatir atas keadaannya, semua kesedihannya hanya ia tampung
sendiri tanpa bisa di luapkan pada orang lain. Langkah demi langkah pelan ia
menyusuri tangga sekolahnya, namun tubuhnya terasa berat untuk berjalan dan
akhirnya jatuh pingsan.
Semingu berada di rumah
sakit membuat Naya muak, bau obat dan hiburan para suster seakan membuatnya
dirawat untuk menanti sang ajal yang tidak diduga datangnya. “Ma, Naya ngak
mau dirumah sakit lagi ah bosan, lagi pula bayarannya juga mahal”. Setelah
usaha mama untuk membujuk Naya sia-sia, ahirnya dokter pun menyetujuinya untuk
pulang.
****
Bintang dimalam itu bersinar dengan cerah seolah
menyambut kedatangannya. Air mata Naya menetes dibantal dia terus memikirkan
Ayah, Ibu, dan sahabat-sahabatnya. Ada
pikiran dihati Naya untuk berubah seperti teman-teman perempuannya. Sepulang
dari rumah sakit, Naya mencoba hal baru yang belum pernah ia lakukan, sebelum
ia pergi. Rugi tidak pernah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelum
aku pergi nanti batin Naya.
Keesoka harinya Naya sudah berdandan rapi, rambut
yang dulu terikat kini dibiarkannya terurai dengan pita merah yang dipasang
rapi dirambutnya. memang awalnya ia malu namun karena tekat yang kuat ia
berhasil mengusir jauh-jauh rasa malu itu. Naya juga selalu memperhatikan
pelajaran disekolanya, dan mulai meningalkan kebiasannya. Kini ia punya banyak
teman-perempuan, prestasi disekolahnya pun cukup bagus. Canda tawa dengan
sahabatnya seakan membuat Naya melupakan kesedihannya.
Namun yang terjadi sekarang adalah tidak adanya
canda tawa. Naya terbaring lemah ditempat tidur, seluruh tubuhnya lemas tidak
berdaya Ia pun tidak dapat berjalan normal kembali. Juga ketika 3 sahabatnya
datang membesuknya dan berusaha menghiburnya. “Sebenarnya kamu sakit apa sih?” Tanya Bob, “Cuma
capek”, “mana mungki Cuma capek
sampai ngak berdaya gitu.” sudah hampir 3 mingu kamu ngak masuk masa alasannya
Cuma capek? sambung Andre. Masa kamu
ngak mau certain masalah kamu, siapa tau kami bisa Bantu sambung Doni, bukannya gitu kok, kalian aja yang terlalu
khawatir ntar juga sembuh.“Ya
udah Ya, cepat sembuh, ntar kalau kamu masuk lagi, kita bisa godain Guru BP,
atau si Indra yang pake kacamata tebel itu lagi”.
Begitu
mereka pulang rasa sedih dan air mata Naya terus menetes, seakan membuatnya tak
rela meningalkan semua ini, menghitung sisa umur yang sebentar lagi hilang. Sekarang
Naya hanya bisa terbaring lemah ditempat tidur sambil menanti detik-detik akhir
hidupnya, dengan doa yang begitu panjang untuk orang-orang yang akan
ditingalkannya nanti.
****
Matahari yang dulu bersinar seakan
tengelam diufuk barat, memancarkan sinar keemasan, Naya duduk terpaku menatap senja.
“Bagaimana keadaanmu sayang” Tanya
mama, “agak baik ma” Naya tersenyum
kecil menyembunyikan kesakitannya. Mana mungkin ia mengatakan ke mamanya kalau
ia makin hari makin sakit, berbohong sedikit demi kebaikan tentu tidak ada
salahnya, batin Naya.
Makin hari Naya merasakan rasa sakit
yang bebegitu dahsyat. Dokter Budi juga tidak mengatakan apa-apa tentang
penyakitnya, hanya sekilas Naya mendengar pengobatan Transpalasi sum-sum tulang
belakang untuk menangulangi kangker darahnya. Hem…berapa hitungan rupiah yang
harus dikeluarkan orang tua Naya, sekarang Naya hanya bisa pasrah, toh
seandainya pengobatan itu dilakukan paling lama
hidupnya hanya berjalan beberapa tahun.
Huh
semoga Tuhan mengabulkan doanya untuk menghadapi hidup yang tinggal hanya
sebentar, juga agar orang tuanya membatalkan perjanjian untuk pengobatan yang
mengeluarkan uang jutaan rupiah itu. Mengingat keadaan ekonomi keluarganya yang
boleh dikatakan hanya lebih dari cukup, kini harus habis digunakan untuk
membiayai pengobataaya, bagaimana kalau tidak berhasil? atau gagal? tentu saja
percuma hanya membuang uang, terlebih lagi biaya sekolah adiknya yang mahal,
semua itu membutuhkan uang yang banyak.
Naya terdiam sejenak mengingat teman-temannya
di sekolah, Sofia yang kutu buku,
mengenang saat ia dan 3 sahabatnya berperilaku iseng pada salah satu
guru BP, atau Dian yang selalu mengoreksi penampilannya, juga Putri yang selalu
berpenampilan menarik, “sedang apa mereka
sekarang” ?. Sambil menyanyikan potongan syair lagu dari Nikita,
Ku telah mati dan tinggalkan
Cara hidupku yang lama
Semuanya sia-sia ….
Tak lama Mama masuk, Naya terbangun
dari lamunannya, “Mama hanya ingin minta
pendapatmu sayang, bagaimana kalau kita coba pengobatan Transpalasi sum-sum tulang
belakang untuk menangulangi kangker darah mu, mama juga sudah membicarakannya
dengan Dokter Budi?”, “tak usah ma, biayanya
kan mahal.
Kitakan hanya manusia tapi tetap tuhan yang menentukan, lebih baik uangnya
dipakai untuk keperluan lain”,ucap Naya dengan nada memohon. Mama mengerutkan kening sebari
mengambil obat untuknya. “Ya sudah nanti
kita bicarakan lagi besok ”.
****
Pagi-pagi Naya bangun, rasa sakit
ditubuhnya pun seperti tidak terasa, Naya pun dapat berjalan perlahan, bahkan tertawa
nyaring besama adik dan Mbah Inah tetanganya. Juga dapat menulis perlahan
ataupun mengirimkan e-mail pada semua teman-temannya. “Aku tak akan menyia-yiaka kesempatan ini, mungki ini terakhir kali
aku merasakan hidup tanpa rasa sakit.”
“Naya,
mama dan papa sudah membicarakan tentang pengobatan penyakitmu ini, dan kami
sudah putuskan kau harus mengikuti pengobatan itu, lusa kita akan mendatangi
Dokter Budi karena kau harus menjalankan tes pemeriksaan terlebih dahulu”. “Ngak usah ah ma, bagai mana kalau gagal”
? kan
rugi”, lagi pula aku sudah merasa
baik kok mah, ucap Naya yang tampak memaksa, “sudahlah, kamu tidak perlu pikirkan semua itu, lebih baik kamu
istirahat, karena besok kamu masih harus menjalankan terapi”.
Malam mulai menyelimuti hari, Naya
mulai beranjak naik ketempat tidurnya dengan perasaan yang tidak menentu,
dilihatnya Mama yang sedang membersihkan meja, Ina, serta Ayahnya yang
bergantian memberikan ucapan selamat tidur, sebari melihat senyuman mama dari
balik pintu kamarnya, sebelum ia benar-benar terlelap dalam tidur panjangnya.
****
Berkali-kali
Naya memangil Ina adiknya, tapi tak ada seorang pun yang memperhatikan bahkan
mendengar ucapnnya. Semua terlalu sibuk mengurus sesosok tubuh yang terbujur
kaku diselimuti kain. Terlihat air mata yang menetes dipipi mereka, ingin
rasanya ia menangis tapi tidak ada air mata yang tumpah dipipinya.
Dilihatnya ketiga sahabatnya, dilambaikan
tangannya pada mereka sambil tersenyum, tapi mereka tidak juga tidak peduli,
hanya terpaku melihat sesosok tubuh yang terselimuti kain putih, tubuhnya
sendiri. Sejenak ia melihat Dian sedang membaca diarinya yang bertulisan Aku
Ingin Hidup sambil meneteskan air
mata, sebelum cahaya kuning keemasaan datang menghampiri dan menyelimuti
tubuhnya, benar-benar membawanya ke suatu tempat yang ABADI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar