Senin, 06 November 2017

Siapa Sabina Dalam Ayat-Ayat Cinta 2 ?





               Novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta karya Habibburrahman El-Shirazi (Kang Abik) memang menjadi suatu hal yang menarik di ulas, nuansa agamis yang begitu kental di padukan dengan kisah cinta islami menjadi daya tarik tersendiri yang membuat pembaca terpesona akan ceritanya. Novel yang juga sudah di buat filem dengan judul yang sama pun meraup banyak penonton dari berbagai khalangan. Kisah Cinta Fahri pemuda asal Indonesia dengan Aisha gadis muslimah konglomerat berdarah Jerman yang membuat kita terhanyut di dalamnya dengan ending yang bahagia pada novel pertamanya. Siapa sangka terbitnya novel Ayat-Ayat Cinta 2 banyak menyiratkan tanda tanya tersendiri, kemanakah Aisha? Kenapa Fahri hanya sendiri?  Apa Aisha masih hidup? dan apakah Shabina itu adalah Aisha? Ketika membaca novelnya saya agak merasa kecewa dan banyak melontarkan pertanyaan seperti di atas, namun ketika saya mengikuti jalan ceritanya, sepertinya kang Abik lebih mengutamakan pesan moral islami di dalam novelnya kali ini tanpa meningalkan nuansa romantis dari kisah Cinta Fahri.


AWAS SPOILER !!!
               Fahri yang semenjak kehilangan Aisha untuk menjadi sukarelawan di Palestina bersama temanya Alicia yang kemudian ditemukan tidak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan, sedangkan Aisha tidak diketahui kabarnya dan belum ditemukan jasatnya, menjadi kehilangan separuh hidupnya. Ia memutuskan untuk pindah ke Edinburgh kota yang diimpikan oleh Aisha. Ia menetap dan bekerja sebagai dosen di Edinburgh University sambil menjalankan bisnis yang ia buat bersama Aisha di sana. Di Edinburgh Fahri berjumpa dengan Hulya sepupu Aisha, dan Keira tetangganya yang beragama non muslim serta Sabina gadis berparas buruk dan penuh luka bakar di sekujur tubuhnya, yang kemudian diangkat menjadi asisten rumah tangga oleh fahri. Sosok Sabina benar-benar mengingatkan Fahri kepada Aisha, mulai dari postur dan tinggi badannya, cara dia berjalan, masakan dan seduhan tehnya sangat mirif dengan Aisha kecuali wajah dan suara paraunya. Kerena keimanan Sabina yang begitu kuatnya membela agama Allah, Fahri sempat berniat mempersuntingnya, meski pada akhirnya ditolak oleh Sabina.
               Sabina akhirnya berhasil membujuk Fahri untuk menikahi Hulya dan meyakinkan Hulya untuk menikah dengan Fahri. Pada Awal pernikahannya dengan Hulya Fahri nyaris mengabaikan kewajibannya sebagai suami untuk Hulya karena teringan akan Aisha, sampai akhirnya Hulya mencurahkan rasa kecewanya kepada Sabina. Sabina yang mendengar hal tersebut berusaha memberikan saran agar Hulya tetap sabar dan bertahan. Pernikahan Fahri dengan Hulya kemudian di karuniai seorang anak laki-laki bernama Umar  Al Faruq. Sabinalah yang kemudian menjadi ibu angkatnya dan merawat Umar seperti anaknya sendiri.
               kehidupan Fahri dan Hulya kian lengkap dengan hadirnya anak kedua dalam kandungan Hulya. Namun naasnya, Hulya tewas karena luka tusukan ketika ia menyelamatkan Keira dari orang yang hendak mengambil kehormatan Keira. Sebelum Hulya meninggal ia sempat mewasiatkan kepada Fahri agar Fahri mengoperasi wajah Sabina dengan wajahnya. Fahri dan Sabina tidak bisa menolak hal tersebut kerena merupakan permintaan terakhir dari Hulya sampai akhirnya berjalanlah operasi tersebut. kehilangan istri yang ia cintai kembali membuat Fahri bersedih, belum sembuh luka karena kepergian Aisha kini ia harus merasakan kesedihan karena kepergian Hulya.
               Fahri yang melihat-lihat kamar Hulya menemukan petunjuk dari tulisan Hulya tentang kecurigaannya pada Sabina, sehingga akhirnya Fahri memberanikan diri mengeledah kamar Sabina. Tidak ada yang ia temukan di kamar Sabina kecuali tas yang diberikan Hulya padanya. Di dalam tas tersebut Fahri menemukan sebuah cincin yang jika di taksir mempunyai harga yang mahal, dan selembar foto Fahri bersama Aisha di Borubudur, di balik foto tersebut ada tulisan “aku dan suamiku, sebelum aku kehilangan wajahku”. Kecurigaan yang fahri rasakan selama ini membuatnya nekat melihat tanda lahir yang dimiliki Aisha di bahu Sabina, ketika Sabina sedang menjalani proses operasi, sehinga akhirnya Fahri benar-benar yakin bahwa Sabina adalah Aisha istrinya yang hilang selama ini.

          Apa alasan Aisha sebenarnya? mengapa ia lebih memilih menyembunyikan identitas aslinya dan mengaku sebagai Sabina? yuk, lihat cuplikan terakhir novel Ayat-Ayat Cinta 2 berikut,





MAR
18

42.
CERITA DI KABLE COLLEGE


Sabina membaca Al Qur'an dengan suara jernih. Operasi pita suara itu berhasil. Sabina merasakan suaranya sekarang mirip dengan suara aslinya yang dulu, meskipun tidak sama persis. Allah Maha Besar telah meneteskan ilmu-Nya kepada manusia sehingga bisa memperbaiki pita suara manusia yang rusak dengan izin-Nya.

Dua s Sepuluh hari sejak operasi pita suara itu, danSabina belum mendapat kabar kapan ia akan keluar dari The Paragon Suite, Wexham Park Hospital. Kerinduannya pada si kecil Umar Al Faruq mulai membuncah-buncah. Dan entah kenapa ia ingin sekali segera bertemu majikannya, Fahri. Ia ingin tahu apa reaksi majikannya itu setelah tahu wajah Hulya ada padanya, dan suaranya telah menjadi indah nyaris seperti aslinya dulu.

Bel pintu kamarnya berdering. Sabina meletakkan mushaf yang dipegangnya dan membuka pintu. Seorang perawat perempuan berhidung sangat mancung tersenyum, "Ada telah dijemput."

"Siapa?"

"Utusan dari orang yang membiayai pengobatan Anda."

"Saya harus mengemasi semua barang-barang saya?”

"Tidak perlu. Cukuplah Anda merapikan diri Anda. Barang – barang Anda nanti akan ada yang merapikan dan mengantarkan ke tempat Anda dengan aman. Waktu Anda sepuluh menit Anda sudah ditunggu di loby."

"Ba .. baik." Ada kebahagiaan menyusup ke dalam hati Sabina, namun juga sedikit kekecewaan. Kenapa Fahri tidak mau langsung menjemputnya? Apa majikannya itu tidak sudi melihat dirinya? Tidak sudi melihat wajah istrinya menempel pada wajah orang lain? Ia juga tidak yakin bahwa ia akan diantar ke rumah Fahri. Mungkin majikannya itu telah menyiapkan tempat lain untuknya.

Lima belas menit kemudian ia telah berada di dalam mobil Rolls-Royce Wraith milik Fahri. Seorang lelaki muda berkulit putih mengendarai mobil itu, bukan Fahri. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai mahasiswa dari Polandia yang dibimbing Fahri. Dan baru satu bulan ini masuk Islam di tangan Fahri.

"Satu kehormatan bagi saya diminta menjemput Anda, Tuan Fahri ada kesibukan di kampus."

“Kita mau ke mana?" Tanya Sabina ketika ia tahu bahwa itu bukan jalan menuju rumah Fahri.

"Kita ke Keble College Oxford. Tuan Fahri meminta saya membawa Anda ke sana agar berganti suasana sehingga Anda tidak bosan."

"Oh begitu." Sabina merasa kecewa sebab yang ia harapkan bukan berganti tempat menginap, tetapi ia ingin berjumpa si kecil Umar Al Faruq yang telah ia anggap seperti anaknya sendiri, dan
langsung berjumpa Fahri.

Begitu memasuki Keble College yang indah dan klasik kemerahan seperti sebuah istana, Sabina merasa seperti pernah memasuki tempat itu. Tapi kapan? Ia terus berpikir sembari berjalan mengikuti mahasiwa dari Polandia itu membawanya menyeberangi lapangan rumput yang hijau di tengah - tengah college, lalu memasuki lorong – lorong college yang menawan.

"Ini kamar Anda, ini kuncinya, silakan. Jika ada keperluan apa saja Anda bisa menghubungi resepsionis, mereka akan dengan senang hati membantu."

“Sampai kapan saya di sini?”

"Itu saya tidak tahu, saya hanya di minta menjemput Anda dan membawa Anda ke sini. Semoga Anda nyaman dan senang. Bye."

Mahasiswa Polandia itu pergi, Sabina membuka kamar itu. Kamar yang sederhana tapi rapi dan harum. Nuansanya serba putih. Lagi-lagi ia merasa pernah memasuki kamar itu, tapi kapan? la tidak menemukan jawabannya.

Sabina teringat bahwa ia benar - benar tidak membawa pakaian ganti. Bagaimana kalau yang mengantar barang-barangnya tidak membawanya ke Keble College. la merasa bodoh, seharusnya
ia membawa beberapa helai pakaian ganti. Apakah ia harus minta tolong resepsionis mencarikan pakaian ganti? Itu sungguh tindakan yang naif.

Sabina memeriksa almari yang menempel di tembok. Ada kulkas di dalamnya. Ia buka kulkas ada buah - buahan dan minuman kaleng. la membuka pintu satunya. Ia terkesiap. Ada beberapa helai pakaian perempuan. Masih baru. Ada pakaian tidur. Ada pakaian dalam. Hanya pakaian perempuan. Ia periksa. Ukurannya benar-benar pas untuk dirinya. Ia lega dan bertanya-tanya, siapakah yang menyiapkan pakaian - pakaian ini? Mungkinkah Fahri? Atau Claire, istri Ozan?

Di dalam almari itu ia juga menemukan sajadah yang ada kompas pencari arah kiblatnya. Ia jadi ingat, sudah saatnya shalat Ashar. Ia mengambil wudhu lalu mengambil sajadah dan takbiratul ihram menghadap kiblat. Posisinya berdiri membelakangi pintu kamar itu. Sabina shalat sedemikian khusyuknya. Air matanya berlinang-linang. Ia sujud lama sekali. Ia menangis tersedu-sedu dalam sujudnya.

Ketika Sabina sujud, pintu kamar itu terbuka. Fahri masuk menenteng tas koper kecil dan menutup pintu itu pelan lalu menguncinya pelan sekali nyaris tidak terdengar. Ia melepas sepatunya dan meletakkan koper kecil itu, lalu duduk di kursi dan memandangi Sabina yang sedang sujud. Ia tahu yang sedang sujud itu sejatinya adalah Aisha, istrinya yang telah lama ia kira hilang tak tentu rimbanya di Palestina.

Kedua mata Fahri basah begitu saja. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Aisha, istrinya itu? Kenapa ia melakukan ini semua? Kenapa ia memilih menderita di jalanan dan menyamar sebagai Sabina? Kenapa ia tidak berterus terang apa pun yang terjadi bahwa ia adalah Aisha? Kenapa ia tega melihatnya menderita?

Sebenarnya sejak ia tahu bahwa Sabina adalah Aisha, ia tidak sabar untuk segera bertemu dan berbicara dengannya. Tetapi ia tahan - tahan dirinya sampai operasi itu benar-benar sembuh dan berhasil sempurna. Dan sungguh, itu adalah saat - saat paling menyiksa dalam dirinya.

Sabina duduk tahiyyat akhir, lalu mengucap salam ke kiri dan ke kanan. Pada salam kedua, Fahri menjawab dengan suara bergetar, "Wa 'alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakaatuh." Sabina terhenyak kaget seketika menengok ke asal suara. Sabina yang berwajah Hulya langsung terpaku di tempat duduknya dengan tubuh gemetar melihat Fahri telah duduk di kamar itu. Fahri memandangi wajahnya dengan wajah sayu dan kedua mata berkaca-kaca.

Pandangan keduanya bertemu.

Sabina tidak melepaskan pandangannya pada kedua mata Fahri. Tak terasa air matanya juga meleleh. Selama ini ia belum pernah berani beradu pandang dengan Fahri, apalagi cukup lama
seperti itu. Fahri menatap mata perempuan di hadapannya lekat - lekat.

Ya, kedua mata itu adalah mata Aisha, bukan mata Sabina atau pun Hulya. Wajahnya kini memang wajab Hulya, tapi kedua mata itu adalah milik Aisha. Mata Aisha biru tua, sementara mata Hulya biru kecoklatan. Selama ini ketika perempuan di hadapannya itu mengaku sebagai Sabina ia tidak pernah memandang kedua matanya lekat – lekat seperti itu.

Air mata Fahri meleleh di pipinya.  Fahri menyungging senyum dengan perasaan haru. "Istriku." Suaranya parau, tangisnya hendak meledak.

“Tuan Fahri.”

"Kenapa kau panggil aku Tuan, aku ini suamimu."

"Tuan Fahri, sadarlah saya ini Sabina bukan Hulya."

"Kau istriku. Kemarilah aku sangat rindu ingin memelukmu istriku.”

"Meskipun wajahku ini adalah wajah Hulya istri tuan, tapi aku ini Sabina. Tuan tidak boleh
menyentuh saya."

"Siapa yang melarang seorang suami menyentuh istrinya? Siapa yang melarang suami memeluk
istrinya? Apalagi istri yang sangat disayanginya dan sangat dirindukannya?"

“Tuan, sadarlah Tuan, saya bukan Hulya istri Tuan!"

"Apa maksud Tuan? Sadarlah Tuan, saya ini Sabina bukan istri ,.Tuan.''

"Kenapa kau tega menyiksaku selama ini istriku, kenapa? Apa dosaku padamu? Apakah selama aku menjadi suamimu aku pernah menyakitimu sehingga harus kau balas dengan penyiksaan batin sedemikian rupa. Kenapa istriku? Apa yang sesungguhnya terjadi?"

Fahri bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pelan mendekati Sabina berwajah Hulya yang masih duduk di atas sajadah. Sabina beringsut mundur.

"Diamlah di tempatmu istriku, kenapa kau masih mau lari dariku? Diamlah di tempatmu istriku, apakah aku ini orang jahat yang harus kau hindari?" Air mata Fahri meleleh. Sabina diam menunduk.

" Pandanglah wajahku istriku!" Sabina mendongakkan mukanya memandang wajah Fahri.

"Apa dosaku padamu istriku? Demi Allah aku sangat mencintaimu lahir dan batin. Aku nyaris gila karena memikirkanmu siang dan malam. Ketika kau mau pergi dan kau masih ada di sisiku aku sudah sangat merindukanmu. Kau tidak pernah merasakan kerinduan yang sedemikian mencekam kepada seseorang yang bahkan orang itu ada di sampingnya. Itu aku rasakan istriku. Itulah kerinduanku padamu. Dan ketika kabar itu aku terima, kau hilang, kau pergi, aku nyaris seperti mayat berjalan di atas muka bumi ini. Sebab nyawaku seperti kau bawa serta. Siang malam aku menangisimu, aku mengharu biru meminta kepada Allah agar menemukanmu kembali. Ternyata kau begitu dekat denganku, tetapi kau begitu tega istriku, kau tidak mengizinkan aku memandang wajahmu. Apa salahku padamu selama ini, wahai Aisha istriku tersayang?"

Sabina kaget, air matanya tumpah.

"Sadarlah Tuan, Aisha sudah tidak ada, yang ada di hadapan Tuan ini Sabina."

“Benarkah?"
“lya Tuan."

"Sejak kapan kau belajar berdusta Aisha, sejak kapan?”

Aisha menunduk bulir-bulir bening jatuh dari kedua matanya.

“Semalam saja seorang istri tega menyakiti hati suaminya ia akan dilaknat malaikat. Berapa malam kau tega menyiksa batin suamimu hingga menderita, Aisha? Aku sungguh sangat mencintaimu, apakah kau menyesal menikah denganku? Baik, kalau kau masih juga tidak mengaku bahwa kau Aisha, tetapi kau adalah Sabina. Tolong bersumpahlah kepada Allah, katakanlah, ‘Demi Allah aku adalah benar – benar Sabina bukan Aisha istri Fahri Abdillah, jika aku dusta maka laknat dari Allah pantas menimpaku di dunia dan akhirat’ Ayo ucapkanlah Sabina, ucapkan sumpah itu kalau kau benar – benar Sabina bukan Aisha istriku !”

Seketika tangis Aisha meledak. Aisha beringsut meraih tangan kanan Fahri dan menciuminya sambil menangis terisak-isak. Air mata Aisha membasahi tangan Fahri.

"Ma ... afkan aku suamiku, maafkan aku, aku tidak ingin dilaknat malaikat apalagi dilaknat Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Embun kebahagiaan menetes dalam hati Fahri mendengar pengakuan Aisha. Istrinya itu masih mengakuinya sebagai suaminya. Ia jadi ingat ketika meminta Sabina untuk ia nikahi dan ia jadikan istrinya, setelah Sabina bersumpah akan mengorbankannya nyawanya untuk membela kehormatan nabinya dan keluarga nabinya,saat itu Sabina menolak dan mengatakan jikapun mau menikah lagi maka ia harus menikah dengan orang yang lebih baik dari suaminya yang dulu. Ia lalu bertanya, apakah dirinya kalah baik dibandingkan suaminya itu.

Sabina menjawab, "Saya tidak mengatakan Tuan kalah baik. Tuan mungkin saja sama baiknya dengan suamiku yang dulu. Tetapi Tuan tidak akan bisa lebih baik darinya?"

Ia kini sadar bahwa jawaban Sabina itu berisi ilmu mantiq tingkat tinggi. Ya suami Sabina itu tak lain adalah dirinya, dan tentu saja dirinya sama kualitasnya dengan dirinya, dan dirinya tidak akan bisa lebih baik dari dirinya sendiri. Sebab dirinya tidak mungkin pecah jadi dua yang satu lebih baik dari yang satunya. Saat itu ia sungguh tidak berpikir bahwa suami Sabina sesungguhnya adalah dirinya. Sebab ia sama sekali tidak mengira Sabina adalah Aisha.

Ada banyak hal yang ia temui pada Sabina yang mirip bayangan Aisha. Cara berjalannya, tinggi dan ramping tubuhnya. Rasa nasi goreng buatannya. Rasa teh seduhannya. Semua itu sempat mengingatkan pada Aisha. Tetapi ia sungguh tidak berpikir Sabina adalah Aisha. Ia masih berpikir, bahwa dirinya masih terus terbawa - bawa perasaannya yang merindukan Aisha sebingga banyak hal yang ia anggap sebagai bayangan Aisha.

Air mata Aisha masih terus membasahi tangan kanan Fahri. Keharuan bercampur kebahagiaan dan ketenteraman terus mengaliri batin Fahri.

“Demi Allah, aku tidak bermaksud menyakitimu, membuatmu menderita. Aku juga tidak bermaksud pergi dan tidak taat padamu, suamiku. Justru aku melakukan itu semua karena rasa cintaku yang mendalam padamu. Sejak menikah denganmu aku bersumpah hanya akan memiliki suami satu, yaitu cuma engkau suamiku!''

Air mata Fahri kembali meleleh. Keharuan luar biasa menyesak dalam dadanya. Tangan kirinya mengelus kepala Aisha dengan penuh cinta dan kasih sayang.

"Aku tahu itu istriku, aku tahu."

Kedua tangan Fahri memegang dagu Aisha dan mengangkatnya. Wajah Aisha yang kini berwajah Hulya itu diraba oleh Fahri dengan penuh kasih sayang. Fahri memegang kepala istrinya dan memandanginya dengan air mata terus meleleh.

"Aisha, akulah yang harus minta maaf kepadamu. Seharusnya aku menemanimu ke Palestina, bukan mementingkan siding doktoral. Aisha tahukah kau, begitu kau hilang kontak dan benar – benar hilang, aku merasa sangat berdosa. Apalagi ketika jasad Alicia yang pergi bersamamu itu ditemukan meninggal dalam kondisi mengenaskan di kota Hebron. Aku langsung maerasakan sakit luar biasa, aku teringat dirimu. Aku berusaha menghibur kau baik-baik saja. Tapi aku merasa kau pasti mengalami hal yang menyakitkan. Harusnya aku ada di sampingmu melindungimu."

Aisha terisak-isak.

"Kau sama sekali tidak salah suamiku. Akulah yang salah. Akulah yang terlalu memaksa. Seharusnya aku mengikuti nasihatmu. Menunggu sampai kau selesai PhD baru kita berangkat bersama. Tetapi inilah jalan hidup yang harus aku alami. Suamiku, bagaimana kau bisa tahu kalau aku adalah Aisha, istrimu."

Fahri menggelengkan kepala, "Kau keterlaluan istriku, sungguh." Fahri memeluk istrinya penuh sayang dan menangis tersedu- sedu. Sepasang suami istri itu menangis dalam kehangatan pelukan kerinduan teramat sangat.

Fahri melepas pelukannya itu, ia pegang kedua tangan istrinya lalu menceritakan bagaimana ia akhirnya bisa tahu bahwa sosok Sabina sebenamya adalah Aisha, istrinya.

"Begitu aku lihat tanda lahir di pundakmu itu, dan seratus persen aku yakin, haqqul yakin bahwa itu adalah engkau, aku langsung teringat wajahmu sebagai Sabina, aku teringat saat kau mengemis di jalan, saat kau sakit dan jatuh pingsan di jalan. Kau pasti mengalami penderitaan luar biasa. Dan wajahmu itu, wajah Aisha yang cantik itu bisa rusak dan seburuk itu, bagaimana itu bisa terjadi. Hatiku sakit dan perih mengetahui kenyataan itu, bahkan belum mendengar ceritamu aku sudah bisa merasakan perih penderitaanmu istriku."

Fahri menyeka air matanya. Aisha memejamkan kedua matanya. Saat - saat paling menyakitkan dalam hidupnya yang ia alami di penjara Israel terbayang. Ia tidak ingin mengingat peristiwa itu, ia ingin membuangnya jauh-jauh.

“Dengan wajah seburuk itu, dengan suara juga bukan suara Aisha yang dulu, apakah jika Sabina itu datang kepadamu mengaku sebagai Aisha, kau akan percaya! suamiku?”

"Aisha, ada banyak rahasia kita yang tahu hanya kita berdua selain Allah SWT. Ada kehidupan kita berdua yang sangat Prihadi yang tahu hanya kita berdua. Jika kau kau buka rahasia-rahasia itu sebagai bukti kau adalah Aisha kenapa aku tidak akan mempercayaimu?"

"Apakah kau akan tetap mencintaiku dengan wajah seburuk itu?”

"Kenapa tidak Aisha, aku mencintaimu dengan segala keadaanmu, asal kau tidak meninggalkan akidah yang mulia ini, akidah Islam, aku akan tetap mencintaimu lahir dan batin."

Aisha memejamkan kedua matanya. Dari ujung kedua matanya air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.

"Aku tahu itu suamiku, aku tidak meragukan cintamu. Justru karena itu, aku tidak mau menyakitimu. Aku ingin kau lihat dalam kondisi terbaikku. Aku adalah istri yang tidak mau dilihat suamiku dalam kondisi buruk. Karena itu ketika aku menyadari buruknya fisik diriku aku putuskan bahwa Aisha istri Fahri itu telah tiada. Tetapi aku tetap ingin melihatmu, ingin dekat denganmu, maka dengan berhagai cara aku mencarimu, akhirnya aku menemukanmu. Dan Allah mengizinkan aku hidup satu rumah denganmu."

"Kau sungguh tega istriku, kau bisa melihatku, mengetahui keadaanku, bahkan aku tahu kaulah yang menguatkan Hulya untuk semakin mantap menikah denganku, kau juga membujukku untuk menikahi Hulya, kau yang memberikan saran-saran bagaimana agar Hulya tetap sabar menemaniku ketika aku nyaris putus asa tidak bisa menjadi suamiyang baik Hulya. Kau juga yang menyarankan Hulya membacakan puisi itu. Kau merawat Umar seperti anakmu sendiri. Kau menemukan apa yang kau cari. Tapi kau biarkan aku terus merana dalam penyesalan mendalam merasa kehilangan Aisha. Kau biarkan aku siang dan malam menyesal tidak menemani Aisha ke Palestina. Kau tega sekali istriku, kau tega sekali !"

"Demi Allah, tidak ada maksud dariku untuk menyakitimu suamiku. Justru aku ingin menjaga kehahagiaanmu. Cukuplah kau tahu istrimu Aisha mati tak tentu di mana jasad dan kuburnya. Cukuplah kau tahu Aisha yang kau cintai itu wafat dalam misi suci membela agama Allah dengan penanya. Aku tak ingin kau tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Aisha -mu yang malang itu, sebab Aisha-mu sendiri tidak mau mengingat peristiwa yang menimpanya."

"Sedemikian sakit dan menderitanyakah dirimu istriku, sampai kau tidak mau berbagi cerita kepada suamimu?"

Aisha meraih tubuh Fahri dan memeluknya dengan erat. Ia menangis dalam pelukan Fahri. Aisha menangis tersedu-sedu. Fahri membiarkan istrinya itu menuntaskan tangisnya hingga merasa lega.

"Menangislah Sayang, menangislah dalam pelukan suamimu yang sangat mencintaimu. Aku tahu kau selama ini pasti sering menangis. Tapi kau belum lega sebelum kau menangis dalam pelukanku seperti dulu-dulu itu. Menangislah, aku bahkan merindukan tangismu Sayangku."

"Rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukan ini."

"Aku juga, istriku Sayang."

"Mungkinkah aku hidup tanpa melepaskan pelukan ini?"

"Sayangku, demi Allah, secara fisik mungkin aku tidak memelukmu, tetapi jiwaku tidak pernah berhenti memeluk dan menciumimu."

"Sudah lama aku tidak mendengar kalimat itu." Aisha mengambil napas panjang dan melepaskannya dengan penuh kelegaan, bersamaan itu ia melepas pelukannya.

"Yang paling penting, doakanlah, suamimu yang dhaif dan penuh dosa ini layak memelukmu di surga nanti dalam naungan ridha Allah yang Maha Pengasih."

"Allahumma taqabbal' ya Allah."

"Sekarang ceritakanlah apa yang terjadi padamu sesungguhnya istriku. Aku tahu selama ini tidak ada orang yang kau jadikan tempat untuk berbagi. Kau sendirian. Hanya Allah yang jadi temanmu. Aku yakin kau tidak menceritakan apa yang sesungguhnya kau alami kepada siapa pun, pasti hanya kepada Allah kau menangis dan bercerita. Ceritakanlah apa yang terjadi dan bagaimana kau bisa hidup dan sampai di Edinburgh. Sejak kau bilang di Palestina aku selalu memeriksa semua akun bank atas namamu. Tapi tidak ada satu sen pun yang kurang, artinya kau tidak mengambil uang sama sekali. Padahal sebenarnya kau bisa mengambilnya dari mana saja. Kau punya pasword dan pin-nya."

Aisha tampak ragu.

"Ceritakanlah, suamimu berhak tahu. Ini perintah suami, dan perintah suami harus ditaati. Aku masih ingat detik-detik terakhir kali melihat wajahmu itu. Itu adalah sore yang dingin, 2 November 2007 aku mengantarmu ke bandara Muenchen, kau akan terbang ke Amman untuk pergi ke Palestina. Kau akan bertemu Alicia di Amman. Tahukah kau istriku, begitu kau hilang dari pandanganku, aku sudah langsung rindu luar biasa padamu. Bahkan sebelum berpisah pun aku merasa rindu. Tanggal 3 November kau kirim kabar sudah berada di sebuah hotel di kota Amman hersama Alicia. Kau minta didoakan besoknya tanggal 4 akan masuk Palestina. Dan itu adalah kabar terakhir darimu, itu suara terakhirmu yang aku dengar lewat telepon. Setelah itu apa yang terjadi? Kau seperti hilang dari muka bumi ini. Tanggal 29 Januari 2008 aku mendapat kabar dari keluarga Alicia bahwa Alicia telah ditemukan menjadi mayat dengan kondisi mengenaskan di pinggir daerah Hebron, Israel. Nyawaku rasanya mau copot dari ragaku karena sedihku mengingatmu. Usaha menemukan jejakmu aku usahakan dengan berbagai cara tapi hasilnya nihil. Apa yang sesugguhnya terjadi padamu istriku?"

[1] Ya Allah terima dan kabulkan.

Aisha diam, air matanya meleleh kembali. "Pagi itu tanggal 4 November, selesai sarapan aku dan Alicia langsung meluncur ke perbatasan Palestina. Setelah proses imigrasi yang melelahkan, kami bisa masuk Palestina. Kami langsung ke Al Aqsa, karena kami perempuan kami bisa masuk Masjidil Aqsa dan shalat Dhuhur di sana. Aku ingin tahu bagaimana kehidupan orang Palestina sehari-hari. Bagaimana rasanya rumah di gusur? Bagaimana rasanya setiap hari diintimidasi tapi mereka kuat? Bahkan ketika dunia menutup mata atas penderitaan yang mereka alami, mereka tetap tegar. Alicia itu wartawan yang cerdas. Ia dapat kontak seorang aktivis perempuan Palestina bernama Amina di Distrik Dawara, Selatan Hebron. Itu kira-kira 25 kilometer dari Yerusalem.

Siang itu setelah makan siang di Yerusalem kami langsung ke Distrik Oawara untuk menemui Amina dan keluarganya. Kami disambut dengan hangat. Mereka membuat semacam pesta menyambut kedatangan kami. Sebenarnya hari itu aku mau kirim kabar kepadamu, tetapi saying ketika di Masjidil Aqsa batere habis, dan ketika sudah di charge di rumah Amina, pulsa habis. Aku tahu ada panggilan darimu hari itu, tapi aku tidak bisa memanggil balik. Aku berpikir besok pagi akan ganti nomor Palestina untuk menghubungimu.

Malam itu kami menginap di rumah Amina. Dia janda beranak satu. Suaminya mati ditembak tentara Israel. Hidup bersama ayah dan ibunya yang sudah tua. Dia anak bungsu. Lima saudaranya
sudah syahid semua, mati syahid mempertahankan tanah ladang keluarganya yang dirampas Israel.

Kejadian yang tidak pernah aku bayangkan terjadi malam itu. Kira pukul dua malam rumah Amina digedor sangat keras. Aku dan Alicia tegang. Amina bangun membuka pintu. Ternyata tentara Israel. Jumlah mereka belasan. Mereka marah bahwa Amina dan keluarganya tidak mengindahkan
peringatan mereka agar mengosongkan rumah itu. Mereka semakin marah ketika mengetahui bahwa kami adalah tamu. Identitas Alicia sebagai wartawan tidak bisa disembunyikan setelah tentara itu menggeledah semua benda yang kami miliki.

Mereka mengamuk. Ayah Amina yang sudah renta dipukuli sampai pingsan. Ibu dan anak Amina diseret keluar rumah. Amina sendiri ditangkap dan sampai sekarang aku tidak tahu nasibnya. Aku dan Alicia malam itu digelandang ke pos militer Israel setelah semua dokumen kami dibakar. Malam itu kami diinterogasi secara terpisah. Kami diinterogasi sampai pagi. Kami lalu dijebloskan ke dalam sel terpisah. Sejak itu aku tidak tahu apa yang dialami Alicia. Nanti aku tahu apa yang dialami Alicia justru di internet ketika aku bisa keluar dari Israel.

Mereka menganggap aku bagian dari jaringan teroris Palestina yang mengancam Israel. Mereka menyangkal semua penjelasanku. Aku dianggap mata-mata berbahaya. Aku dijebloskan dari satu penjara ke penjara lain yang berbeda. Sampai aku dijebloskan penjara perempuan. Awalnya aku
sendirian di sel itu, lalu seorang perempuan dengan wajah pucat dilempar begitu saja ke dalam sel itu. Perempuan itu mengalami penderitaan luar biasa, ia cerita baru diperkosa para durjana itu. "Pemimpin para penjahat itu bernama Baruch!" Kata perempuan itu.

Tak lama sel dibuka. Dua orang tentara perempuan bersenjata memberikan pakaian ganti, handuk, dan tisu basah. "Bersihkan dirimu, ganti pakaianmu, tiga jam lagi giliran kau akan diinterogasi. Komandan yang akan langsung mengintrogasi kamu. Jangan sampai kau berjumpa dengannya dengan pakaian bau!"

Memang satu minggu sudah aku tidak mandi dan tidak ganti pakaian. Setelah penjaga itu pergi, perempuan itu memberitahuku dengan air mata berlinang. "Itu artinya kau akan diperlakukan seperti aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan kamu!"Aku kaget. Aku teringat engkau suamiku. Kehormatan diriku ini hanya boleh kau miliki. Aku mencari akal bagaimana bisa lolos dari tindakan keji itu. Aku teringat yang pertama membuat orang tertarik adalah wajah. Maka aku harus membuat wajahku tidak menarik. Saat itu juga aku goreskan wajahku ini ke dinding penjara yang kasat Aku rusak serusak-rusaknya. Perih dan sakit aku rasakan, tetapi sakitnya jasad lebih ringan dari sakitnya jiwa. Lebih baik wajahku rusak tapi kehormatanku tidak rusak. Itu yang ada dalam pikiranku saat itu.

Tentara perempuan itu datang dan marah besar melihat keadaanku. la memberi laporan pada komandannya. Dan komandan itu marah besar, ia langsung datang ke sel. Aku masih ingat wajah komandan itu, ya itu adalah Baruch, anak angkat Nenek Catarina itu. Dia marah luar biasa. "Baik kalau itu yang kau inginkan. Kau ingin merusak dirimu, aku kabulkan!" Geramnya. la menyuruh anak
buahnya, membawaku ke ruang sebelah.

Di sana aku disiksa sejadi-jadinya. Air keras dicipratkan ke muka yang berdarah. Punggungku dicambuk sampai hancur. Lalu Baruch menusuk kemaluanku dengan menggunakan besi paralon. Ia tidak memperkosaku tapi ia hendak membunuhku dengan cara seperti itu. Aku merasakan kesakitan yang tidak terperikan, saat itu aku teringat Sumayyah, wanita pertama yang mati syahid ditombak kemaluannya oleh Abu Jahal. Oh, seperti itu sakit yang dirasakan Sumayya. Aku sekarat saat itu, lalu semuanya gelap, dan tidak ingat apa-apa. Aku pikir aku mati.''

Air mata tidak berhenti mengalir ketika Fahri mendengar cerita istrinya itu.

“Ketika aku sadar aku sudah berada di dalam sebuah sel besar yang berisi perempuan-perempuan pejuang Palestina. Ada seorang dokter perempuan di situ. Ia begitu telaten merawatku dengan obat seadanya. Akhirnya aku sembub. Dengan muka hancur, dan kemaluan rusak. Aku merasa tidak akan keluar dari penjara itu. Banyak perempuan yang mati di dalam penjara karena sakit dan tidak diberi obat. Keadaan diriku oleh perempuan-perempuan Palestina dianggap mukjizat.

Di dalam penjara itu aku sempat menghafalkan Al Qur'an sepuluh juz. Aku talaqqi pada pemimpin pejuang palestina di penjara itu, bernama Ruqayya Abdul Aziz Amin. Dia hafal Al Qur'an, dan dosen Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Gaza.

Setelah hampir dua tahun di penjara, tiba-tiba diumumkan babwa setengah dari perempuan di penjara itu akan dibebaskan dalam pertukaran tahanan antara Israel dan Palestina. Aku termasuk yang dipilih oleh Ustadzah Ruqayya. Ketika aku tanya kenapa aku dipilih, kenapa bukan perempuan yang lain? Ustadzah Ruqayya tersenyum. Ia memberiku bekal surat dan uang secukupnya. Aku diminta menemui seorang kenalannya di Amman.

Kenalannya yang di Amman memperlakukan diriku dengan sangat baik. Ia bahkan meminta diriku tinggal di sana. Tetapi aku ingin hidup tak jauh darimu, suamiku. Aku sudah memutuskan bahwa Aisha telah hilang. Aku tahu aku bisa saja mengambil uang dari rekeningku tapi itu akan membuatmu curiga. Aku sama sekali tidak mengotak-atik aset yang aku punya. Dari Amman aku dititipkan pada truk ke Damaskus. Dari Damaskus aku dititipkan truk barang ke Istanbul. Dari Istanbul aku menyeberang ke Yunani. Dari Yunani aku naik kapal ke Italia. Lalu jalan darat ke Austria. Aku akhirnya sampai ke rumah kita di Munchen. Aku mencari informasi keberadaaanmu. Kau baru satu minggu meninggalkan Jerman untuk tinggal di Edinburgh. Aku langsung tahu, kau masih sangat mencintaiku. Sebab Edinburgh adalah kota yang aku impikan. Dengan berbagai cara, di musim dingin yang menggigit aku melakukan perjalanan untuk bisa sampai di Edinburgh. Dan akhirnya sampai.

Selama perjalanan darat yang panjang itu, aku mengemis. Hal yang dulu tidak pernah terpikirkan
sama sekali. Dan engkau benar suamiku, aku tidak punya teman. Temanku adalah Allah. Beberapa kali dalam perjalanan itu aku mau dikurang-ajari, tetapi begitu melihat wajahku yang buruk, akhinya itu tidak terjadi.

Itulah yang terjadi pada diriku suamiku. Aku sedikit lega ketika kau menendang Baruch yang nyaris membunuhku itu. Itu memang harus kau lakukan. Dan aku bahagia durjana itu akhirnya mati.”

“Kemarilah istriku !"

Aisha mendekat. Fahri mencium keningnya Ialu memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Aku semakin kagum padamu istriku, bagaimana kau begitu telaten merawat Nenek Catarina itu, padahal anak angkatnya adalah orang yang telah melakukan kekejaman luar biasa padamu. Jiwamu sungguh besar."

“Jiwa orang – orang Palestina jauh lebih besar. Dokter perempuan yang menolongku itu pernah menyelamatkan nyawa seorang tentara Israel. Dan tentara itu adalah yang menembak mati suaminya. Nenek Catarina tidak ada sangkut pautnya dengan dosa anak angkatnya. Islam mengajarkan kita untuk bersikap adil dan baik kepada siapa saja, apalagi tetangga.”

Fahri melepas pelukannya. Dan menatap lekat-lekat wajah Istrinya.

"Apakah semua lukamu sudah sembuh ?"

"Alhamdulillah."

"Luka yang ditusuk besi itu, apakah masib menyisakan perih dan nyeri. atau sudah sembuh?"

"Sudah sembuh total alhamdulillah. Sudah normal kembali seperti biasa, tapi bentuknya menjadi rusak, kau akan ngeri melihatnya."

"Itu bisa diperbaiki. Apakah kau tahu ini tanggal berapa?" Aisha menggeleng.

"Ini tanggal 27 September, hari ulang tahun pernikahan kita. Nanti malam, setelah Tahajjud insya Allah kita bisa beribadah bersama mengingat kebesaran Allah dengan cara yang mesra, sekarang ayo kita temui keluarga besarmu.”

“Mereka di mana?”

"Di sini, di hall utama Kable College, mereka menunggu kita makan malam."

"Mereka tahu aku adalah Aisha?"

"Ya. Sejak aku lihat tanda lahirmu itu aku beritahu semua keluarga besarmu. Paman Eqbal, Bibi Amina, Paman Akbar Ali, Bibi Melike, Ozan, Claire dan semuanya. Si Kecil Umar juga menunggumu di sana."

“suamiku."

“Ya."
"Aku sangat mencintaimu. Ik günkü a kla hep birlikte.[2]"

"Indah sekali kalimatmu, Sayang. Aku juga mencintaimu, Hulya.“

"Hulya?! " Muka Aisha memerah.

"Oh maaf, Aisha. Aku sangat mencintaimu Aisha. Oh, Aisha berwajah Hulya."

Aisha tersenyum. Di mata Fahri itu adalah senyum Hulya, sebab bibir itu adalah bibirnya Hulya, meskipun jiwa yang tersenyum adalah jiwa Aisha.

alangkah manis bidadariku ini
bukan. main elok pesonanya
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya bibirnya,
Mawar merekah di taman surga


~ TAMAT ~

[2] Sejak pertama jumpa dengan cinta kita selalu bersama.

Bab terakhir novel ini ditulis dalam perjalanan Salatiga - Solo – Jakarta - Kuala Lumpur – Tanjong Malim, pada tanggal 30 Oktober 2015, dan diselesaikan di Rumah Felo Blok 9, Kampus Sultan Azlan Shah, UPSI, Tanjong Malim, pada hari Sabtu 31 Oktober 2015 jam 16. 15 sore. Wa shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Ditulis oleh : Aiya Selvia
Sumber Novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habibburrahman El- Shirazi
Part terakhir novel repost dari 時間の砂